Gadis Jujur

Khalifah Umar bin Khattab sering melakukan ronda malam sendirian. Sepanjang malam ia memeriksa keadaan rakyatnya langsung dari dekat. Ketika melewati sebuah gubuk, Khalifah Umar merasa curiga melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik.

Khalifah Umar menghentikan langkahnya. Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dari balik bilik Kalifah umar mengintipnya. Tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu.

"Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini," kata anak perempuan itu.

"Mungkin karena musim kemarau, air susu kambing kita jadi sedikit."

"Benar anakku," kata ibunya.

"Tapi jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk. Kita bisa memerah susu sangat banyak," harap anaknya.

"Hmmm....., sejak ayahmu meninggal penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan," kata ibunya.

Anak perempuan itu terdiam. Tangannya sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi susu.

"Nak," bisik ibunya seraya mendekat. "Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya penghasilan kita cepat bertambah."

Anak perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah ibu yang keriput. Ah, wajah itu begitu lelah dan letih menghadapi tekanan hidup yang amat berat. Ada rasa sayang yang begitu besar di hatinya. Namun, ia segera menolak keinginan ibunya.

"Tidak, bu!" katanya cepat.

"Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air." Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli.

"Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu," gerutu ibunya kesal.

"Ibu, hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada pembeli?"

"Tapi, tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan air! Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita," kata ibunya tetap memaksa.

"Ayolah, Nak, mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!"

"Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apa pun kita menyembunyikannya,"tegas anak itu. Ibunya hanya menarik nafas panjang.

Sungguh kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau menuruti suruhannya. Namun, jauh di lubuk hatinya ia begitu kagum akan kejujuran anaknya.

"Aku tidak mau melakukan ketidak jujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,"kata anak itu.

Tanpa berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar. Sedangkan anak perempuannya menyelesaikan pekerjaannya hingga beres.

Di luar bilik, Khalifah Umar tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu.
" Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!" gumam khalifah Umar. Khalifah Umar beranjak meniggalkan gubuk itu.Kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya.

Keesokan paginya, khalifah Umar memanggil putranya, Ashim bin Umar. Di ceritakannya tentang gadis jujur penjual susu itu.

" Anakku, menikahlah dengan gadis itu. Ayah menyukai kejujurannya," kata khalifah Umar. " Di zaman sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia. Ia bukan takut pada manusia. Tapi takut pada Allah yang Maha Melihat."

Ashim bin Umar menyetujuinya.

Beberapa hari kemudian Ashim melamar gadis itu. Betapa terkejut ibu dan anak perempuan itu dengan kedatangan putra khalifah. Mereka mengkhawatirkan akan di tangkap karena suatu kesalahan.

" Tuan, saya dan anak saya tidak pernah melakukan kecurangan dalam menjual susu. Tuan jangan tangkap kami....," sahut ibu tua ketakutan.

Putra khalifah hanya tersenyum. Lalu mengutarakan maksud kedatangannya hendak menyunting anak gadisnya.

"Bagaimana mungkin?
Tuan adalah seorang putra khalifah , tidak selayaknya menikahi gadis miskin seperti anakku?" tanya seorang ibu dengan perasaan ragu.

" Khalifah adalah orang yang tidak ,membedakan manusia. Sebab, hanya ketawakalanlah yang meninggikan derajad seseorang disisi Allah," kata Ashim sambil tersenyum.

" Ya. Aku lihat anakmu sangat jujur," kata Khalifah Umar.
Anak gadis itu saling berpandangan dengan ibunya.
Bagaimana khalifah tahu? Bukankah selama ini ia belum pernah mengenal mereka.

" Setiap malam aku suka berkeliling memeriksa rakyatku. Malam itu aku mendengar pembicaraan kalian...," jelas khalifah Umar.

Ibu itu bahagia sekali. Khalifah Umar ternyata sangat bijaksana. Menilai seseorang bukan dari kekayaan tapi dari kejujurannya.

Sesudah Ashim menikah dengan gadis itu, kehidupan mereka sangat bahagia. Keduanya membahagiakan orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Bebrapa tahun kemudian mereka dikaruniai anak dan cucu yang kelak akan menjadi orang besar dan memimpin bangsa Arab.
 

Qarun Si Pembohong

Pada zaman Nabi Musa a.s, hiduplah seorang yang dianugerahi kekayaan yang berlimpah, Qarun namanya. Ia memiliki rumah yang megah dan indah serta di penuhi barang-barang mewah. Begitu juga sawah dan hewan ternaknya tak terhitung lagi. Bahkan, Qarun punya harta simpanan yang sangat banyak untuk mengangkut kuncinya saja dibutuhkan banyak orang.

Qarun memang seorang yang pandai dan ahli dalam bekerja. Namun sayang, Qarun amat pelit dan kejam. Ia hanya mau memeras tenaga orang-orang untuk memperkaya dirinya tanpa diberi upah. Hanya sedikit makanan dibagikan supaya mereka tidak mati kelaparan.

Qarun senang berjalan-jalan memamerkan kekayaannya sehingga membuat kagum orang yang melihatnya.

"Wah! Sungguh beruntung Qarun! Punya harta yang banyak!"teriak orang-orang

"Kalau saja aku kaya raya seperti Qarun, tentu hidupku akan senang sepanjang masa!" teriak yang lainnya.

Bukan main bangganya Qarun mendengar pujian itu. Ia semakin larut dalam kesombongan.

Suatu siang, utusan Nabi Musa datang menjumpai Qarun. Orang itu menyampaikan pesan Nabi Musa bahwa Qarun wajib memberikan zakat atas hartanya kepada fakir miskin.

"Apa?! Memangnya siapa Musa itu?" Muka Qarun merah padam."Aku mendapat harta kekayaan ini dengan susah payah. Sekarang harus dibagikan pada orang miskin. Enak saja!" kata Qarun marah-marah.

"Hartaku ini kuperoleh dengan kerja keras dan kepandaianku sendiri! Tak ada yang membantuku,"sahut Qarun dengan angkuhnya.

Lalu, Nabi Musa sendiri yang datang ke rumah Qarun untuk menyampaikan kewajiban membayar zakat.

Melihat Musa muncul dihadapannya, entah kenapa Qarun jadi gemetaran. Ia merasa takut pada Musa. Wajah beringasnya berubah ramah sekali.

"Mari! Silakan, saudaraku,"kata Qarun pada Nabi Musa. Ia membungkukkan badannya tanda hormat.

"Tak perlu bermanis muka kepadaku. Benarkah kau menolak memberikan zakat? Allah telah memberimu harta yang berlimpah! Kau harus mengeluarkan zakat bagi fakir miskin.

Sungguh, aku menyuruhmu berzakat atas perintah Allah," kata Nabi Musa.

Qarun amat ketakutan. Ia tidak bisa marah pada Musa.

"O, tentu!" kata Qarun."Akan kusuruh kepala gudang menghitung semua kekayaanku dan mengeluarkan zakatnya."

"Musa pun mempercayai ucapan Qarun. Pengawal dan pembantu Qarun sangat heran melihat sikap Qarun yang pengecut. Dibelakang Nabi Musa, Qarun berani menjelekkannya. Tapi di depan Nabi Musa, ia malah menghormatinya.

Sepeninggal Nabi Musa, Qarun mulai sadar akan kepengecutannya.

"Hmmmm! Aku harus menemui Musa dengan sombong! Aku harus mengembalikan kewibawaanku di depan pembantuku," kata Qarun.

"Aku tidak akan mengeluarkan zakat. Harta yang kupunya bukan untuk dibagikan pada orang miskin!" umpat Qarun.

Keesokan harinya, Nabi Musa menemui Qarun lagi untuk memperingatkan kewajiban berzakat. Kali ini Qarun menyambut Nabi Musa dengan wajah yang sombong. Ia berdiri tegak di depan pintu. Dikenakannya pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal-mahal. Agar kelihatan besar dan Nabi Musa akan merasa rendah dihadapannya.

"Hai Qarun! Kau sudah berbohong padaku. Kemarin kau bilang akan memberikan zakat pada orang miskin, tapi nyatanya kau menolak perintah Allah," kata Nabi Musa.

"Hai Musa! Ketahuilah, semua harta kekayaanku ini kuperoleh dengan kerja keras. Mengapa harus dibagikan pada orang miskin?"bantah Qarun dengan angkuh.

Nabi Musa kini mengetahui kalau Qarun seorang yang munafik. Si pembohong Besar. tak henti-hentinya Nabi Musa mengingatkan akan hukuman Allah bagi orang yang berdusta. Namun, Qarun tetap dalam kebanggan dirinya.

"Aku akan memohon kepada Allah supaya menenggelamkan semua harta kekayaanmu kedasar bumi,"sahut Nabi Musa.

"Ha..ha..ha.....cobalah meminta pada Tuhanmu. Aku tidak takut! Aku banyak memiliki kekayaan yang dapat menolongku,"kilah Qarun. Ia tidak mengindahkan ancaman Nabi Musa.

Nabi Musa lalu berdo'a seraya mengangkat tangannya. Allah mengabulkan do'a Nabi-Nya. Tiba-tiba, tanah yang dipijak Qarun menjadi retak dan terbelah. Rumah megah besrta isinya milik Qarun tenggelam.

"Oh.....tidak! rumahku....., hartaku......tolong.....," Qarun menjerit sedih. Dalam waktu sekejap saja semua kekayaannya amblas ke dalam tanah. Dan Qarun sendiri jatuh ke dasar bumi. Terkubur bersama harta kekayaannya yang banyak itu.

Orang-orang yang dulu berangan-angan mempunyai kekayaan yang banyak seperti Qarun kini menyadari kekhilafannya.

"Sungguh malang! Allah telah menghukum Qarun dan membinasakan seluruh hartanya," kata orang-orang itu. Karena pertolongan Allah, Nabi Musa dan kaumnya selamat.
 

Abu Hanifah Yang Taat

Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat.

Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan karena cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya.

Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Ia bersyukur dapat bersama ibunya kembali.

"Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?" tanya Abu Hanifah.

"Alhamdulillah......ibu baik-baik saja," jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum.

Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya. Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah ia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulama besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya.

Suatu hari, ibunya brtanya tentang wajib dan sahnya shalat. Abu Hanifah lalu memberi jawaban. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar.

"Aku tak mau mendengar kata-katamu," ucap ibu Hanifah. "Aku hanya percaya pada fatwa Zar'ah Al-Qas," katanya lagi.

Zar'ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah." Sekarang juga antarkan aku ke rumahnya,"pinta ibunya.

Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah mengantar ibunya ke rumah Zar'ah Al-Qas.

"Saudaraku Zar'ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya shalat," kata Abu Hanifah begitu tiba di rumah Zar'ah Al-Qas.

Zar'ah Al-Qas terheran-heran kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulama? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah.

"Tuan, Anda kan seorang ulama besar? kenapa Anda harus datang padaku?" tanya Zar'ah Al-Qas.

"Ibuku hanya mau mendengar fatwa dari anda," sahut Abu Hanifah.

Zar'ah tersenyum," baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda," kata Zar'ah Al-Qas akhirnya.

"Ucapkanlah fatwamu," kata Abu Hanifah tegas.

Lalu Zar'ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega.

"Aku percaya kalau kau yang mengatakannya," kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal, sebetulnya fatwa dari Zar'ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah.

Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majelis Umar bin Zar. Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikuti perintah ibunya. Padahal, ia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.

Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifah datang ke majelisnya.

"Tuan, Andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?" kata Umar bin Zar.

Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya.

"Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar," kata Abu Hanifah.

Umar bin Zar termangu. Ia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya.

"Baiklah, kalau begitu apa jawaban atas pertanyaan ibu Anda?"

Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan.

"Sekarang, sampaikanlah jawaban itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwa anda,"ucap Umar bin Zar sambil tersenyum.

Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawabannya sendiri. Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar.

Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majelis-majelis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mau mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulama yang sangat pintar.
 

Cerita dari negri dongeng

Di sebuah negeri antah berantah..eh bukan, di sebuah negeri yang kaya dan makmur, terdapat seorang putri dan seorang pangeran, yang akan mewarisi kerajaan itu. Singkat cerita, mereka akan menikah. Oya, sebut saja sang pangeran bernama Pangeran Ganteng, dan sang putri sebut saja Putri Cantik.

Namun, selalu aja ada halangan untuk menuju jalan yang lurus. Ditengah kebahagiaan mereka, seorang raksasa buruk rupa yang rupanya, raksasa paling sakti disana. Sebut saja ia Raksasa Seram. Nah, sang raksasa yang perkasa ini, berniat jahat dan menculik sang putri. Maka diculiklah sang putri dari pelukan Pangeran Ganteng.

Pangeran Ganteng bingung. Resah dan gelisah. malam pertama impiannya hancur berantakan. Kekasihnya yang ia cintai di culik Raksasa Seram. Lalu, apa yang musti ia kerjakan? untuk melawan sendiri, ia merasa tak sanggup. Ia terlalu lemah untuk itu. Lalu, apa akal? segera dicarinya para ksatria yang perkasa dan kuat di negeri itu untuk membantunya. Lalu, didapatlah seorang ksatria muda nan gagah perkasa, ganteng dan kalem. Sebut saja Ksatria Leak.

Ksatria Leak menyanggupi, dengan syarat yakni anak pertama dari pasangan Pangeran Ganteng dan Putri Cantik menjadi anak dia. Mengingat tak ada pilihan lain, pangeran Ganteng menyanggupi.

Sinkat cerita, ksatria Leak berhasil mengalahkan raksasa Seram dan mengembalikan Putri Cantik kepada sang pangeran. Dan waktu terus bergulir. Sampai setahun kemudian anak pertama mereka lahir. Dan sesuai janjinya, ksatria Leak mengambil anak pertama itu, dan pangeran tganteng merelakannya. Namun, tidak demikian dengan putri cantik. Karena tidak tau dan tidak diberitahu, putri cantik murka. Dan dengan kedudukannya yang lebih kuat dari pangeran ganteng, maka ia mengusir pangeran Ganteng.

Pangeran Ganteng jadi terlunta-lunta kini. Ia, kesana kemari tanpa tujuan. Hatinya resah gundah gulana. Tak tau kemana arah yang musti dituju. Sampai bertemulah ia dengan seorang empu, yang panggil saja Empu Sakti. Lalu, diceritakannya semua kejadian yang dialaminya pada sang empu. Sang empu marah, lalu dikutuklah sang putri menjadi kodok. Jadilah ia putri kodok sekarang.


Nah nah nah,....cerita berakhir disana. Namun, cerita itu tidak mengakhiri perjalanan kawan dari kawanku itu. Ada sebuah pertanyaan yang mengiringinya, yang menentukan di terima atau tidaknya ia instansi itu. Pertanyaannya adalah, "dari beberapa nama yang disebut, siapakah yang menurut anda paling bersalah?"
 

JANGAN BENCI AKU, MAMA

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!" Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu.

Siapa namamu anak manis?"
"Nama saya Elic, Tante."
"Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"
Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric...
Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping.
"Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu." tTpi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak. ..
Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangissaya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric... Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah.
Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir
dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.

"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?" Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...?
Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..." Saya menjerit histeris membaca surat itu.
"Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana .
Nyonya,dosa anda tidak terampuni!"
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata di irlandia utara)
 

Money

Money can buy a house, but not a home.
Money can buy a bed, but not sleep.
Money can buy a clock, but not time.
Money can buy a book, but not knowledge.
Money can buy food, but not an appetite.
Money can buy position, but not respect.
Money can buy blood, but not life.
Money can buy medicine, but not health.
Money can buy sex, but not love.
Money can buy insurance, but not safety.

~ingatlah, uang bukanlah segalanya. Ada banyak sekali hal lain yang lebih
berharga dari sekedar uang.
 

The Law of Life

The tree that never had to fight
For the sun and sky and air and light,
that stood out in the open plain,
And always got its share of rain,
Never became a forest king.

The man who never had to toil,
Who never had to win his share,
Of sun and sky and light and air,
Never became a manly man,
But lived and died as he began.

Good timber does not grow in ease;
The stronger the wind, the tougher trees;
The more the storm, the more the strength;
By sun and cold, by rain and snow,
In tree or man, good timber grows.

Where thickest stands the forest growth,
We find the patriarchs of both,
And they hold converse with the stars,
Whose broken branches show the scars
Of many winds and much strife,

This is the common law of life.
 

Blessings

“Forget about the days
when it’s been cloudy,
but don’t forget your
hours in the sun.

Forget about the times
you’ve been defeated,
but don’t forget the
victories you’ve won.

Forget about the mistakes
that you can’t change now,
but don’t forget the lessons.

Forget about the misfortunes
you’ve encountered,
but don’t forget the
times your luck has turned.

Forget about the days
when you’ve been lonely,
but don’t forget the friendly
smiles you’ve seen……

Forget about the plans
that didn’t seem
to work out right,
but don’t forget to
always have a dream.”
 

Lessons of Life

I feared being alone until I learned to like myself.
I feared failure until I realized that I only fail when I don’t try.
I feared success until I realized that I had to try in order to be happy with myself.
I feared people’s opinions until I learned that people would have opinions about
me anyway.

I feared rejection until I learned to have faith in myself.
I feared pain until I learned that it’s necessary for growth.
I feared the truth until I saw the ugliness in lies.
I feared life until I experienced its beauty.

I feared death until I realized that it’s not an end, but a beginning.
I feared my destiny, until I realized that I had the power to change my life.
I feared hate until I saw that it was nothing more than ignorance.
I feared love until it touched my heart, making the darkness fade into endless
sunny days.

I feared ridicule until I learned how to laugh at myself.
I feared growing old until I realized that I gained wisdom every day.
I feared the future until I realized that life just kept getting better.
I feared the past until I realized that it could no longer hurt me.

I feared the dark until I saw the beauty of the starlight.
I feared the light until I learned that the truth would give me strength.
I feared change, until I saw that even the most beautiful butterfly had to
undergo a metamorphosis before it could fly.

~Bobbete Bryan
 

Pengrajin Emas dan Kuningan - Pelajaran tentang ketekunan

Di sebuah negeri, hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal bersebelahan.
Seorang diantaranya, adalah pengrajin emas, sedang yang lainnya pengrajin
kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan ini, sebab, ini adalah
pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang
dihasilkan dari pekerjaan ini. Cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai
penghias, adalah beberapa dari hasil kerajinan mereka.

Setiap akhir bulan, mereka membawa hasil pekerjaan ke kota. Hari pasar, demikian
mereka biasa menyebut hari itu. Mereka akan berdagang barang-barang logam itu,
sekaligus membeli barang-barang keperluan lain selama sebulan. Beruntunglah,
pekan depan, akan ada tetamu agung yang datang mengunjungi kota, dan bermaksud
memborong barang-barang yang ada disana. Kabar ini tentu membuat mereka senang.
Tentu, berita ini akan membuat semua pedagang membuat lebih banyak barang yang
akan dijajakan.

Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya
nafas hidup bagi mereka. Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar
yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya. Percik-percik
api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang
siap dijual. Hari pasar makin dekat. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk
berangkat ke kota.

Hari pasar telah tiba, dan keduanya pun sampai di kota. Hamparan terpal telah
digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer
berdampingan. Tampaklah, barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ah
sayang, ada kontras yang mencolok diantara keduanya. Walaupun terbuat dari logam
mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tak
berkilau. Ulir-ulirnya kasar, dengan pokok-pokok simpul rantai yang tak rapi.
Seakan, sang pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.

“Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan
menanyakan kenapa perhiasaannya kawannya itu tampak kusam. “Setiap orang akan
memilih daganganku, sebab, emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin
emas lagi, “Apalah artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya,
aku akan membawa uang lebih banyak darimu.” Pengrajin kuningan, hanya tersenyum.
Ketekunannya mengasah logam, membuat semuanya tampak lebih bersinar.
Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperli
lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap di
pandang mata.

Ketekunan, memang sesuatu yang mahal. Hampir semua orang yang lewat, tak menaruh
perhatian kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi, dan
melihat-melihat cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan
datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan
logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup mereka tertarik, dan mau membelinya.
Sekali lagi, terpampang kekontrasan di hari pasar itu. Pengrajin emas yang
tertegun diam, dan pengrajin kuningan yang tersenyum senang.

Hari pasar telah usai, dan para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itu
pun telah selesai membereskan dagangan. Dan agaknya, keduanya mendapat pelajaran
dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.
 

Dilema seorang ibu

Udah seminggu gw selalu bangun pagi dengan kepala pusing.Kalo dipikir - pikir, gw sekarang lebih sering bobo di bawah jam 10, tapi tetep aja pas bangun ni kepala senut2 gak karuan.

Gw sebenernya tau penyebab kepala gw selalu pusing akhir2 ini. Kalo masalah keuangan sih udah biasa gw pikirin, ampe ni otak udah kebal buat ngatur utang (bukan duit). Tapi masalah yang satu ini istilah ngawurnya worther than money.

Kepusingan gw ini, diawali dengan kegembiraan luar biasa ketika membaca invitation dari KNUA Korea untuk dosen seni UNJ yang berstatus pegawai negeri sipil (termasuk di antaranya gw) mengenai beasiswa master di Korea, full scholarship, bener2 free of charge.

Beasiswa ini menawarkan study master untuk craft (bidang GW!) selama 2 tahun gratis, berangkat september 2007, namun tidak boleh membawa anggota keluarga,kecuali dengan biaya sendiri.

Hari pertama, gw merasa sangat lucky dan antusias, gw heboh tanya sana sini untuk dapetin beasiswa tersebut. Kata temen2 gw yang single

" Udah na ambil aja... gilee kapan lagi ada yang segampang dan secepet ini! gw aja udah apply 5 kali gak tembus2"

tapi kata temen2 gw yang ibu2 :

" Mbak Nana inget lo, jangan grusa grusu, mbak nana kan punya anak, punya suami, kalo menurut saya kok mbak nana mending ambil master di UI aja pakai beasiswa UNJ atau beasiswa BPPS..."

Dalam hati gw mikir :

" Ni ibu2 resek banget, gak ngertiin tren jaman sekarang, sekolah harus setinggi mungkin, harus dapet banyak pengalaman, masak gw sekolah di Indonesia lagiiii... addduuuuhh. Soal anak ama suami mah gampannnnggggggggggggg"

Anak dan suami bisa ditinggal sementara.

Ntar Jarot (Suami gw) bisa nyusul taun depan kalo gw punya uang lebih

then...

Gw sibuk mendownload formulir2 yang diperlukan, plus mempersiapkan arsip2 yang mereka butuhin, ijazah s1,transkrip nilai,cv, piagam2 penghargaan.....

Tiba2 gw keinget satu hal. " Keluarga". gw inget kata ibu2 itu...

......... Oh my God, gw SOK lupa bahwa gw sekarang punya anak umur sebelas bulan yang masih minum ASI, gw juga lupa bahwa gw punya suami yang baru aja pindah kerja, baru aja bersenang2 dan bersusah2 ngerintis karirnya di sebuah perusahaan kecil pinggir kali, sebagai manajer kreatif. Gw lupa bahwa gw punya tugas untuk bayar cicilan mobil keluarga kami yang masih 22 bulan lagi. Gw lupa bahwa gw harus bantuin suami gw bayar cicilan rumah selama 8 tahun 10 bulan lagi. Gw lupa bahwa gw harus ngurus bisnis kecil gw yang punya 9 pegawai yang udah gw anggep keluarga gw sendiri.

Kalo gw berangkat berarti anak gw putus ASI, harus dititipin ke mertua gw ato nyokap gw (karena suami gw pulang kantor di atas jam 8 malam,dan sabtu jg ngantor), mungkin gw harus jual salah satu (rumah ato mobil) karena suami gw cuman bisa afford salah satu dengan gajinya. Dan yang paling parah, gw harus nutup bisnis gw, memPHK ke sembilan pegawai workshop gw, padahal gw tau banget bahwa mereka butuh kerjaan.

that's too much....

too much risk

too much pain

Suddenly kakak gw yang lagi sekolah s3 di Inggris telpon gw....

pas banget. gw lagi bingung

" Nana, kowe pikir2 lagi deh kalo mau sekolah di luar negeri, orang liat sih memang keren, tapi di sini tu nggak enak. Paling gak enak kalo kamu berangkat dengan ninggalin orang2 yang kamu sayangin. Kamu ninggalin anakmu di Indonesia selama 2 tahun, pulang2 anakmu udah gede. Itu sama sekali gak bisa diganti. Gak akan pernah bisa diganti. Aku udah ngalamin, aku udah ngerasain. GAK ENAK BANGET, gak worth it" .

Seharian gw diem gak ngapa2ngapain, gak nyiapin dokumen lagi, gak makan, gak ngurusin dagangan, gak megang kalkulator(ni alat favorit gw), gak ngurusin anak gw. Gw cuman nonton fashion tv dan kadang2 mindah saluran ke v -channel. tapi tetep aja blank.

Sedih sih pasti, tapi kayaknya lebih sedih lagi kalo gw maksain buat daftar dan berangkat. it will hurts everybody.....

Jesse will forget me and he could not forgive me someday.

Gw coba buka lagi visi gw ke depan (gw hobi banget nulis2 planning dan visi gw ke depan di atas selembar kertas)

setelah punya jesse, gw dan suami punya rancangan hidup jangka pendek dan jangka panjang.

Rencana jangka pendek gw adalah : pada umur 30 tahun rumah kami harus sudah lunas, punya 2 mobil berumur kurang dari 5 tahun, sudah lunas 22nya, serta punya 2 motor untuk transportasi jarak dekat.

Setelah umur 30, kami tidak punya hutang sama sekali, pendapatan kami dipakai untukmembangun rumah kost, rumah kontrakan,bikin warteg dan beli ruko.

Semuanya realistis karena kami berdua bekerja penuh semangat dan Alhamdulillah sampai saat ini semua cicilan masih teratasi. Kpr rumah akan dipidah jadi 5 tahun, berarti umur 30, rumah sudah lunas. Mobil 2 tahun lagi lunas (InsyaAllah habis itu ambil 1 lagi).Motor udah ada 1, berarti tinggal 1 lagi...

Rencana jangka panjang gw pengen pensiun dengan tenang dan ninggalin banyak bidang usaha untuk anak gw kalo suatu hari kami berdua udah dipanggil ama yang di atas.

Tapi kalau gw pergi sekolah lagi.....................

Wah berantakaaaaaannn semua...

terutama rencana jangka pendek gw yang akan sangat mendukung rencana jangka panjang gw.

hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhrrrrrrrr.....

Gw pernah baca di sebuah buku, wanita emang lebih complicated di banding pria. secara sosial, wanita memiliki hubungan emosional mendalam terhadap orang2 di sekitarnya, wanita juga sangat manusiawi dan holistik dalam memandang sebuah masalah. Seorang wanita dapat dengan mudah menghapus ambisi dan egonya ketika ia dibutuhkan keluarganya.

bener banget.

dan itu terjadi pada gw.

I love my family, more than anything in the world

even my dream

Anak gw sekarang udah bisa ngomong dikit2 meski umurnya baru sebelas bulan,

dan gw inget, kmarin dia ngomong :" Mamam tacang......"

it means ..."Mama sayang...."

I love you too jesse, my son ..............

Gw yakin kalo besok pagi kepala gw udah ga pusing lagi.

bener kata kakak gw " GAK WORTH IT, NA..."

jesse :

"Mamam tacang....."

Nana :

" Mamam tacang is here,Hunny.......always beside you..."
Berjalan dengan keong

Tuhan memberiku sebuah tugas, yaitu membawa keong jalan-jalan.
Aku tak dapat jalan terlalu cepat, keong sudah berusaha keras merangkak. Setiap kali hanya beralih sedemikian sedikit.
Aku mendesak, menghardik, memarahinya, Keong memandangku dengan pandangan meminta-maaf, serasa berkata : "aku sudah berusaha dengan segenap tenaga !"
Aku menariknya, menyeret, bahkan menendangnya, keong terluka. Ia mengucurkan keringat, nafas tersengal-sengal, merangkak ke depan.
Sungguh aneh, mengapa Tuhan memintaku mengajak seekor keong berjalan-jalan.
Ya Tuhan! Mengapa ? Langit sunyi-senyap. Biarkan saja keong merangkak didepan, aku kesal dibelakang. Pelankan langkah, tenangkan hati....

Oh? Tiba-tiba tercium aroma bunga, ternyata ini adalah sebuah taman bunga.
Aku rasakan hembusan sepoi angin, ternyata angin malam demikian lembut.
Ada lagi! Aku dengar suara kicau burung, suara dengung cacing.
Aku lihat langit penuh bintang cemerlang.
Oh? Mengapa dulu tidak rasakan semua ini ?
Barulah aku teringat, Mungkin aku telah salah menduga!

Ternyata Tuhan meminta keong menuntunku jalan-jalan sehingga aku dapat mamahami dan merasakan keindahan taman ini yang tak pernah kualami kalo aku berjalan sendiri dengan cepatnya.
"He's here and with me for a reason"
Saat bertemu dengan orang yang benar-benar engkau kasihi,
Haruslah berusaha memperoleh kesempatan untuk bersamanya seumur hidupmu.
Karena ketika dia telah pergi, segalanya telah terlambat.

Saat bertemu teman yang dapat dipercaya, rukunlah bersamanya.
Karena seumur hidup manusia, teman sejati tak mudah ditemukan.
Saat bertemu penolongmu,
Ingat untuk bersyukur padanya.
Karena ialah yang mengubah hidupmu

Saat bertemu orang yang pernah kau cintai,
Ingatlah dengan tersenyum untuk berterima-kasih .
Karena ia lah orang yang membuatmu lebih mengerti tentang kasih.

Saat bertemu orang yang pernah kau benci,
Sapalah dengan tersenyum.
Karena ia membuatmu semakin teguh / kuat.

Saat bertemu orang yang pernah mengkhianatimu,Baik-baiklah berbincanglah dengannya.
Karena jika bukan karena dia, hari ini engkau tak memahami dunia ini.

Saat bertemu orang yang pernah diam-diam kau cintai,
Berkatilah dia.
Karena saat kau mencintainya, bukankah berharap ia bahagia ?

Saat bertemu orang yang tergesa-gesa meninggalkanmu,
Berterima-kasihlah bahwa ia pernah ada dalam hidupmu.
Karena ia adalah bagian dari nostalgiamu

Saat bertemu orang yang pernah salah-paham padamu,
Gunakan saat tersebut untuk menjelaskannaya.
Karena engkau mungkin hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskan

Saat bertemu orang yang saat ini menemanimu seumur hidup,
Berterima-kasihlah sepenuhnya bahwa ia mencintaimu.
Karena saat ini kalian mendapatkan kebahagiaan dan cinta sejati..

Berteriak..

Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang
meriah, dengan pemain yang semuanya siswa-siswi disana. Setiap anak mendapat
peran, dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya
tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil
terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung, semua orangtua murid ikut
hadir dan menyemarakkan acara itu.

Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada
yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang
menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak
pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang
pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya
pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap
terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.

Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak
Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar
dalam hati, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam
komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru akan menyebutkan nama mereka, dan
mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut
berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.

Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah
nama. Ahha…ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara.
Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu
ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak
bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap
ke seluruh hadirin. Mereka bangga.

Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya
kepada sang “jagoan, “Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya.
Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya,
sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak
heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik..” tanya Pak Guru, “Coba kamu
ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini..”.

Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus
berterima kasih kepada Ayah saya dirumah. Karena, dari Ayah lah saya belajar
berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru perilaku ini. Ayah
sering berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah
seperti Ayah.” Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai
melanjutkan, “..Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini, jadi peran ini,
adalah peran yang mudah buat saya…”

Senyap. Usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap. Begitupun kedua
orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnnya
mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai
terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu
diluruskan dalam perilaku mereka.

***
Teman, setiap anak, adalah duplikat dari orang di sekitarnya. Setiap anak adalah
peniru, dan mereka belajar untuk menjadi salah satu dari kita. Mereka akan
belajar untuk menjadikan kita sebagai contoh, sebagai panutan dalam bertindak
dan berperilaku. Mereka juga akan hadir sebagai sosok-sosok cermin bagi kita,
tempat kita bisa berkaca pada semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air
telaga yang merefleksikan bayangan kita saat kita menatap dalam hamparan
perilaku yang mereka perbuat.

Namun sayang, cermin itu meniru pada semua hal. Baik, buruk, terpuji ataupun
tercela, di munculkan dengan sangat nyata bagi kita yang berkaca. Cermin itu
juga menjadi bayangan apapun yang ada di depannya. Telaga itu adalah juga
pancaran sejati terhadap setiap benda di depannya. Kita tentu tak bisa,
memecahkan cermin atau mengoyak ketenangan telaga itu, saat melihat gambaran
yang buruk. Sebab, bukankah itu sama artinya dengan menuding diri kita sendiri?

Teman, saya ingin berpesan kepada kita semua, “berteriaklah kepada anak-anak
kita saat kita marah, maka, kita akan membesarkan seorang pemarah. Bermuka
ketuslah kepada mereka saat kita marah, maka kita akan membesarkan seorang
pembenci, dan biarkanlah mulut dan tangan kita yang bekerja saat kita marah,
maka kita akan belajar menciptakan seorang yang penuh dengki…”

Peran apakah yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita saat ini? Contoh
apakah yang sedang kita berikan kali ini? Dan panutan apakah yang sedang kita
tampilkan? Teman, percayalah, mereka akan selalu belajar dari kita, dari orang
yang terdekatnya, dari orang yang mencintainya. Merekalah lingkaran terdekat
kita, tempat mereka belajar, menerima kasih sayang, dan juga tempat mereka
meniru dalam berperilaku.

Saya berharap, bisa menjadi orang yang sabar saat melihat seorang anak
menumpahkan air di gelas yang mereka pegang. Saya berharap menjadi orang yang
ikhlas, saat melihat mereka memecahkan piring makan mereka sendiri. Sebab,
bukankah mereka baru “belajar” memegang gelas dan piring itu selama 5 tahun,
sedangkan kita telah mengenalnya sejak lebih 20 tahun? Tentu mereka akan butuh
waktu untuk bisa seperti kita.
 

Operator Telepon

Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator akan menghubungkan secara manual.Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa , kalau putaran di putar , sebuahsuara yang ramah, manis, akan berkata :"Operator"Dan si operator ini maha tahu.
Ia tahu semua nomor telepon orang lain.! Ia tahu nomor telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun dirumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar putar

kesakitan dan memasukkan jempol ini kedalam mulut tatakala saya ingat ….operator!!

Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya."Disini operator…"

"Jempol saya kejepit pintu…"kata saya sambil menangis . Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.

"Apakah ibumu ada di rumah ?"tanyanya.

"Tidak ada orang"

"Apakah jempolmu berdarah ?"

"Tidak , cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali"

"Bisakah kamu membuka lemari es ?"tanyanya.

"Bisa, naik di bangku"

"Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu…"

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu.

Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi, apa nama ibu kota sebuah Negara, tanya tentang matematik. Ia juga menjelaskan bahwa tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan , makannya kacang atau buah.

Suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.

Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar.

Saya tanya :"Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak dikandangnya ?"

Ia berkata pelan :"Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain…"Kata -kata ini - ngga tau bagaimana - menenangkan saya.

Lain kali saya telpon dia lagi.

"Disini operator"

"Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun. Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan "Disini operator"

Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya studi trip ke kota asal.

Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon, dan minta bagian"operator"

"Disini operator"

Suara yang sama. Ramah tamah yang sama.

Saya tanya :"Bisa ngga eja kata kukuruyuk"

Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan :"Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan ?"

Saya tertawa."Itu Anda…. Wah waktu berlalu begitu cepat ya"

Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serius :"Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon"

Saya ceritakan bahwa , ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi."Tentu, nama saya Saly"

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telpon operator. Suara yang sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly.

Suara itu bertanya"Apa Anda temannya ?"

"Ya teman sangat lama"

"Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan. Ia meninggal lima minggu yang lalu…"

Sebelum saya meletakkan telepon, tiba tiba suara itu bertanya :"Maaf,apakah Anda bernama Paul ?"

"Ya"

"Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya….."

Ia kemudian membacakan pesan Saly :"Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN… Paul akan mengerti kata kata ini…."

Saya meletakkan gagang telepon. Saya tahu apa yang Saly maksudkan.

Jangan sekali sekali mengabaikan, bagaimana Anda menyentuh hidup orang lain!!
 

Jalan kebahagiaan


Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku,
Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.

Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh.

Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkimpoian yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.

Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota .

Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing.

Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkimpoian, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.

Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkimpoian. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.

Kini, saya tahu kenapa perkimpoian ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkimpoian, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.

Karena Tuhan telah menciptakan perkimpoian, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkimpoian yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkimpoian yang baik, pasti dapat diharapkan.
 

Pengorbanan yang dianggap benar.

Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkimpoian, dan secara perlahan –lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.

Di masa awal perkimpoian, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkimpoian sendiri.

Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.

Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .

Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!

Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkimpoian ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.

Saya sedang mempertunjukkan kembali perkimpoian ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka.

Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.

Yang kamu inginkan ?

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya…
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkimpoiannya,

Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.

Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkimpoian, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.

Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.

cara saya juga sama seperti ibu, perkimpoian saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkimpoian yang bahagia.

Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?

Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.

Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakianmu….dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.

Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.
 

Optimisme hidup


Bob Butler kehilangan kedua kakinya pada tahun 1965 akibat ledakan ranjau di Vietnam. Ia kembali ke negerinya sebagai pahlawan perang. Dua puluh tahun kemudian IA sekali lagi membuktikan kepahlawanan yang murni berasal dari lubuk hatinya.

Butler sedang bekerja di garasi rumahnya di sebuah kota kecil di Arizona pada suatu Hari dalam musim panas ketika IA mendengar jeritan seorang wanita dari salah satu rumah tetangganya. Ia menggelindingkan kursi rodanya ke rumah ini, tetapi semak-semak yang tinggi di rumah itu tidak memungkinkan kursi rodanya mencapai pintu belakang. Maka veteran itu keluar dari kursinya Dan merangkak tanpa peduli debu Dan semak yang harus dilewatinya.

"Aku harus sampai ke sana," ucapnya dalam hati. "Tak peduli bagaimanapun sulitnya."

Ketika Butler tiba di rumah itu, IA tahu bahwa jeritan itu datang dari arah kolam. Di sana seorang anak perempuan berusia kira-kira tiga tahun sedang terbenam di dalamnya. Anak itu lahir tanpa lengan, sehingga ketika IA jatuh ke dalam kolam IA tidak dapat berenang. Sang ibu hanya bisa berdiri mematung sambil menangisi putri kecilnya. Butler langsung menceburkan diri Dan menyelam ke dalam dasar kolam lalu membawanya naik. Wajah anak bernama Stephanie itu sudah membiru, denyut nadinya tidak terasa Dan IA tidak benapas.

Butler segera berusaha melakukan pernafasan buatan untuk menghidupkannya kembali sementara ibunya menghubungi pemadam kebakaran melalui telepon. Ia diberitahu bahwa petugas kesehatan kebetulan sedang bertugas di tempat lain. Dengan putus ASA, IA terisak-isak sambil memeluk pundak Butler.

Sementara terus melakukan pernafasan buatan, Butler dengan tenang meyakinkan sang ibu bahwa Stephanie akan selamat. "Jangan cemas," katanya. "Saya menjadi tangannya untuk keluar dari kolam itu. Ia akan baik-baik saja. Sekarang saya akan menjadi paru-parunya. Bila bersama-sama Kita pasti bisa."

Beberapa saat kemudian anak kecil itu mulai terbatuk-batuk, sadar kembali Dan mulai menangis. Ketika mereka saling berpelukan Dan bergembira bersama-sama, sang ibu bertanya kepada Butler tentang bagaimana IA yakin bahwa anaknya akan selamat.

"Ketika kaki saya remuk terkena ledakan di Vietnam, saya sedang sendirian di sebuah ladang," ceritanya kepada perempuan itu. "Tidak Ada orang lain di sekitar situ yang bisa menolong kecuali seorang gadis Vietnam yang masih kecil. Sambil berjuang menyeretnya ke desa, gadis itu berbisik dalam bahasa Inggris
patah-patah, "Tidak apa-apa. Anda akan hidup. Saya akan menjadi kaki Anda. Bersama-sama Kita pasti bisa."

"Ini kesempatan bagi saya untuk membalas yang pernah saya terima," katanya kepada ibu Stephanie.

Kita semua adalah malaikat-malaikat bersayap sebelah. Hanya bila saling membantu Kita semua dapat terbang ( Luciano De Crescenzo. )


Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkimpoian tidak berakhir bahagia

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.

Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.

Setiap sore, ibu selalu membungkukkan nbadan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.

Ibu saya adalah seorang w anita yang sangat rajin.

Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.

Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkimpoian, tidak memahaminya.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.

Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran.

Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.
Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkimpoian.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkimpoian ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkimpoian yang baik.
Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkimpoian mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkimpoian yang bahagia?
 

Tukang Roti dan Petani

Seorang tukang roti di sebuah desa kecil membeli satu kilogram mentega dari seorang petani. Ia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak benar-benar seberat satu kilogram. Beberapa kali ia menimbang mentega itu, dan benar, berat mentega itu tidak penuh satu kilogram. Yakinlah ia, bahwa petani itu telah melakukan kecurangan. Ia melaporkan pada hakim, dan petani itu dimajukan ke sidang pengadilan.

Pada saat sidang, hakim berkata pada petani, "Tentu kau mempunyai timbangan?"

"Tidak, tuan hakim," jawab petani.

"Lalu, bagaimana kau bisa menimbang mentega yang kau jual itu?" tanya hakim.

Petani itu menjawab, "Ah, itu mudah sekali dijelaskan, tuan hakim. Untuk menimbang mentega seberat satu kilogram itu, sebagai penyeimbang, aku gunakan saja roti seberat satu kilogram yang aku beli dari tukang roti itu."

Smiley...! Cukup banyak contoh, kekesalan kita pada orang lain berasal dari sikap kita sendiri pada orang lain.
 

Nilai Sebuah Senyuman


Dia tidak meminta bayaran, namun menciptakan banyak
Dia memperkaya meraka yang menerimanya, tanpa membuat melarat mereka yang memberinya.
Dia terjadi hanya sekejap namun kenangan tentangnya kadang-kadang bertahan selamanya.
Tak seorangpun yang meskipun kaya mampu bertahan tanpa dia, dan tak seorangpun yang begitu miskin tetap menjadi lebih kaya daripada manfaatnya.
Dia menciptakan kebahagian di rumah, mendukung niat baik dalam bisnis dan merupakan tanda balasan dari kawan-kawan.
Dia memberi istirahat untuk rasa lelah, sinar terang untuk rasa putus asa, sinar mentari bagi
kesediahan dan penangkal alam bagi kesulitan.
Namun dia tidak bisa di beli, dimohon dipinjam atau dicuri karena dia adalah sesuatu yang tidak
berguna sebelum di berikan pada orang lain.
Dan apabila pada menit terakhir kesibukan ... di mana sebagian pelayan penjual kami menjadi
terlalu lelah untuk memberi Anda senyuman, bolehkah kami meminta Anda meninggalkan seulas senyuman Anda?
Karena tak seorangpun yang begitu yang lebih membutuhkan senyuman daripada mereka yang tidak punya lagi yang tersisa untuk diberikan!
 

Bola masuk kedalam kertas


Seorang pemain profesional bertanding dalam sebuah turnamen golf. Ia baru saja membuat pukulan yang bagus sekali yang jatuh di dekat lapangan hijau. Ketika ia berjalan di fairway, ia mendapati bolanya masuk ke dalam sebuah kantong kertas pembungkus makanan yang mungkin dibuang sembarangan oleh salah seorang penonton. Bagaimana ia bisa memukul bola itu dengan baik?

Sesuai dengan peraturan turnamen, jika ia mengeluarkan bola dari kantong kertas itu, ia terkena pukulan hukuman. Tetapi kalau ia memukul bola bersama-sama dengan kantong kertas itu, ia tidak akan bisa memukul dengan baik. Salah-salah, ia mendapatkan skor yang lebih buruk lagi. Apa yang harus dilakukannya?

Banyak pemain mengalami hal serupa. Hampir seluruhnya memilih untuk mengeluarkan bola dari kantong kertas itu dan menerima hukuman. Setelah itu mereka bekerja keras sampai ke akhir turnamen untuk menutup hukuman tadi.

Hanya sedikit, bahkan mungkin hampir tidak ada, pemain yang memukul bola bersama kantong kertas itu. Resikonya terlalu besar. Namun, pemain profesional kita kali ini tidak memilih satu di antara dua kemungkinan itu.

Tiba-tiba ia merogoh sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan sekotak korek api. Lalu ia menyalakan satu batang korek api dan membakar kantong kertas itu. Ketika kantong kertas itu habis terbakar, ia memilih tongkat yang tepat, membidik sejenak, mengayunkan tongkat, wus, bola terpukul dan jatuh persis ke dalam lobang di lapangan hijau. Bravo! Dia tidak terkena hukuman dan tetap bisa mempertahankan posisinya.

Smiley...! Ada orang yang menganggap kesulitan sebagai hukuman, dan memilih untuk menerima hukuman itu. Ada yang mengambil resiko untuk melakukan kesalahan bersama kesulitan itu. Namun, sedikit sekali yang bisa berpikir kreatif untuk menghilangkan kesulitan itu dan menggapai kemenangan.
 

Ciuman seorang anak

Dulu ada seorang gadis kecil bernama Cindy. Ayah Cindy bekerja enam hari dalam seminggu, dan sering kali sudah
lelah saat pulang dari kantor. Ibu Cindy bekerja sama kerasnya mengurus keluarga mereka -memasak, mencuci dan mengerjakan banyak tugas rumah tangga lainnya. Mereka keluarga baik-baik dan hidup mereka nyaman. Hanya ada satu kekurangan, tapi Cindy tidak menyadarinya.

Suatu hari, ketika berusia sembilan tahun, ia menginap dirumah temannya, Debbie, untuk pertama kalinya. Ketika waktu tidur tiba, ibu Debbie mengantar dua anak itu ketempat tidur dam memberikan ciuman selamat malam pada mereka berdua. “Ibu sayang padamu,” kata ibu Debbie. “Aku juga sayang Ibu,” gumam Debbie.

Cindy sangat heran, hingga tak bisa tidur. Tak pernah ada yang memberikan ciuman apapun padanya.. Juga tak ada
yang pernah mengatakan menyayanginya. Sepanjang malam ia berbaring sambil berpikir, Mestinya memang seperti itu .
Ketika ia pulang, orangtuanya tampak senang melihatnya. “Kau senang di rumah Debbie?” tanya ibunya. “Rumah ini sepi sekali tanpa kau,” kata ayahnya. Cindy tidak menjawab. Ia lari ke kamarnya. Ia benci pada orangtunya. Kenapa mereka tak pernah menciumnya? Kenapa mereka tak pernah memeluknya atau
mengatakan menyayanginya? Apa
mereka tidak menyayanginya?. Ingin rasanya ia lari dari rumah, dan tinggal
bersama ibu Debbie. Mungkin ada
kekeliruan, dan orangtuanya ini bukanlah orang tua kandungya. Mungkin ibunya yang asli adalah ibu Debbie.

Malam itu, sebelum tidur, ia mendatangi orangtunya. “Selamat malam,”katanya.
Ayahnya,yang sedang membaca koran,
menoleh. “Selamat malam”, sahut ayahnya. Ibu Cindy meletakkan jahitannya dan tersenyum. “Selamat malam, Cindy.”

Tak ada yang bergerak. Cindy tidak tahan lagi.”Kenapa aku tidak pernah diberi ciuman?” tanyanya. Ibunya tampak bingung. “Yah,” katanya terbata-bata, “sebab… Ibu rasanya karena tidak ada yang pernah mencium Ibu waktu waktu Ibu masih kecil. Itu saja.”

Cindy menangis sampai tertidur. Selama berhari-hari ia merasa marah. Akhirnya ia memutuskan untuk kabur. ia akan
pergi kerumah Debbie dan tinggal bersama mereka. Ia tidak akan pernah kembali kepada orangtuanya yang tidak
pernah menyayanginya.
Ia mengemasi ranselnya dan pergi diam-diam. Tapi begitu tiba di rumah Debbie, ia tidak berani masuk. Ia merasa takkan ada yang mempercayainya. Ia takkan diizinkan tinggal bersama orangtua Debbie.
Maka ia membatalkan rencananya dan
pergi.

Segalanya terasa kosong dan tidak menyenangkan. Ia takkan pernah mempunyai keluarga seperti keluarga Debbie. Ia terjebak selamanya bersama orangtua yang paling buruk dan paling tak punya rasa sayang di dunia ini.

Cindy tidak langsung pulang, tapi pergi ke taman dan duduk di bangku. Ia duduk lama, sambil berpikir,hingga hari gelap. Sekonyong-konyong ia mendapat gagasan. Rencananya pasti berhasil . Ia akan membuatnya berhasil.

Ketika ia masuk kerumahnya, ayahnya sedang menelpon. sang ayah langsung menutup telepon. ibunya sedang duduk
dengan ekspresi cemas. Begitu Cindy masuk, ibunya berseru,” Dari mana saja kau? Kami cemas sekali!”.

Cindy tidak menjawab, melainkan menghampiri ibunya dan memberikan ciuman di pipi, sambil berkata,”Aku sayang padamu,Bu.” Ibunya sangat terperanjat, hingga tak bisa bicara. Lalu Cindy menghampiri ayahnya dan memeluknya sambil berkata,”Selamat malam, Yah. Aku sayang padamu,” Lalu ia pergi tidur, meninggalkan kedua orangtunya yang terperangah di dapur.

Keesokan paginya, ketika turun untuk sarapan, ia memberikan ciuman lagi pada ayah dan ibunya. Di halte bus, ia
berjingkat dan mengecup ibunya. “Hai, Bu,”katanya. “Aku sayang padamu.”

Itulah yang dilakukan Cindy setiap hari selama setiap minggu dan setiap bulan.
Kadang-kadang orangtuanya menarik
diri darinya dengan kaku dan canggung. Kadang-kadang mereka hanya tertawa. Tapi mereka tak pernah membalas
ciumannya. Namun Cindy tidak putus asa. Ia telah membuat rencana, dan ia
menjalaninya dengan konsisten. Lalu suatu malam ia lupa mencium ibunya sebelum tidur. Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka dan ibunya masuk. “Mana ciuman untukku ?” tanya ibunya, pura-pura marah. Cindy duduk tegak. “Oh, aku lupa,” sahutnya. Lalu ia mencium ibunya. “Aku sayang padamu, Bu.” Kemudian ia berbaring lagi. “Selamat malam”, katanya, lalu memejamkan mata. Tapi ibunya tidak segera keluar. Akhirnya ibunya berkata. “Aku juga sayang padamu.”
Setelah itu ibunya membungkuk dan
mengecup pipi Cindy.”Dan jangan pernah lupa menciumku lagi,” katanya dengan nada dibuat tegas. Cindy tertawa. “Baiklah,”katanya. Dan ia memang tak pernah lupa lagi.

Bertahun-tahun kemudian, Cindy mempunyai anak sendiri, dan ia selalu memberikan ciuman pada bayi itu, sampai katanya pipi mungil bayinya menjadi merah. Dan setiap kali ia pulang kerumah, yang pertama dikatakan ibunya adalah,
:Mana ciuman untukku?” Dan kalau sudah waktunya Cindy pulang, ibunya akan berkata, Aku sayang padamu. Kau tahu itu, bukan?”
“Ya,Bu,” kata Cindy. “Sejak dulu aku sudah tahu.”



Ps:

* Bila kita ingin mengubah sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari dan ingin
agar orang lain melakukannya pada diri kita sendiri, Lakukan & mulailah dari diri kita sendiri. Jangan putus asa !!!.
* Bila jadi orangtua kelak, untuk menunjukkan kasih sayang kepadanya, “Cium dan
Peluklah”.
* Hargailah apa yang anda miliki, terutama orang yang anda cintai. Hargai juga
waktu yang anda miliki, berikanlah waktu
untuk anak, keluarga atau orang yang anda cintai walau hanya sesaat namun
berarti untuknya dan bisa membuatnya bahagia.
 

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi
hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,
dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik,
tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis
di
sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen
dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku
berlutut di
depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang
itu?"
Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah
tidak
mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau
begitu, kalian
berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu
marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan
memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan
apa lagi yang akan kamulakukan di masa mendatang? ...
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak
pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke
SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk
masuk ke
sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu
baik...hasil
yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa
gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan
berkata, "Ayah,
saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah
cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul
adikku
pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat
lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan
menyekolahkan
kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
yang
membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan
ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan
ke
universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan
rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang
sudah
mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan
secarik
kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah.
Saya
akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis
dengan
air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
masuk dan
memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar,
dan
melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak
bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,
tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika
mereka tahu
saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-
debu
dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku
tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu
adalah
adikku
bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-
kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga
harus
memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
menarik
adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah
telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan
ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan
rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu
adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru
itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya
dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak,
tidak
sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku
bekerja dan..."

Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya,
dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan,
sekali
meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa.
Adikku
tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen
pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras
memulai
bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel,
ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku
dan aku
pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak
menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu
yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti
itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga
karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan
kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak
dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia
berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke
rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.

Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu
saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu
gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya.
Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku
dan baik
kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan
perhatiannya
kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku,
orang yang
paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan
dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan
ini, air mata bercucuran turun dari wajahku
seperti sungai.
 

PERANGKAP TIKUS

Sepasang suami dan istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikur memperhatikan dengan seksama sambil menggumam "hmmm...makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar??"


Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah Perangkap Tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang.
Ia segera berlari menuju kandang dan berteriak
" Ada Perangkap Tikus di rumah....di rumah sekarang ada perangkap tikus...."

Ia mendatangi ayam dan berteriak " ada perangkap tikus"
Sang Ayam berkata " Tuan Tikus..., Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh terhadap diriku"

Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak.
Sang Kambing pun berkata " Aku turut ber simpati...tapi tidak ada yangbisa aku lakukan"

Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama.
" Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali"

Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata

" Ahhh...Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku"

Akhirnya Sang Tikus kembali kerumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri.

Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yang terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilikrumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular berbisa tersebut, sang istri tidak sempat diselamatkan.

Sang suami harus membawa istrinya kerumah sakit dan kemudian istrinya sudah boleh pulang namun beberapa hari kemudian istrinya tetap demam.

Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam (kaki ayam) oleh suaminya.
(kita semua tau, sop ceker ayam sangat bermanfaat buat mengurangi demam)
Suaminya dengan segera menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya.


Beberapa hari kemudian sakitnya tidak kunjung reda. Seorang temanmenyarankan untuk makan hati kambing.
Ia lalu menyembelih kambingnya untuk mengambil hatinya.

Masih, istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia.

Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman.
Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat.


Dari kejauhan...Sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan.
Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi.


SO...KALAU SUATU HARI..
KETIKA ANDA MENDENGAR SESEORANG DALAM KESULITAN DAN MENGIRA ITU BUKAN URUSAN ANDA...
PIKIRKANLAH SEKALI LAGI!!!!
 

Kisah Cinta Sejati dari Negeri Sebelah


"true love doesn't have a happy ending, because true love never
ends." bener ga?
==========================================

Toshinobu Kubota, yang biasa dipanggil Shinji
mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya di
negerinya yang lama untuk mencari hidup yang lebih
baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan
keluarga yang disembunyikan di dalam kantong kulit.

"Di sini keadaan sulit," katanya sambil memeluk
putranya dan mengucapkan selamat tinggal. "Kau adalah
harapan kami."

Shinji naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan
transport gratis bagi pemuda-pemuda yang mau bekerja
sebagai penyekop batubara sebagai imbalan ongkos
pelayaran selama sebulan. Kalau Shinji menemukan emas
di Pegunungan Colorado, keluarganya akan menyusul.

Berbulan-bulan Shinji mengolah tanahnya tanpa kenal
lelah. Urat emas yang tidak besar memberinya
penghasilan yang pas-pasan namun teratur. Setiap hari
ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas dua
kamar, Shinji merindukan dan sangat ingin disambut
oleh wanita yang dicintainya. Satu-satunya yang
disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu
nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Asaka
Matsutoya sebelum secara resmi punya kesempatan
mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga
mereka sudah lama berteman dan selama itu pula
diam-diam dia berharap bisa memperistri Asaka.

Rambut Asaka yang ikal panjang dan senyumnya yang
menawan membuatnya menjadi putri Keluarga Yoshinori
Matsutoya yang paling cantik. Shinji baru sempat duduk
di sampingnya dalam acara perayaan pesta bunga dan
mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah
gadis itu agar bisa betemu dengannya. Setiap malam
sebelum tidur di kabinnya, Shinji ingin sekali
membelai rambut Asaka yang pirang kemerahan dan
memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya,
meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya.

Kira-kira setahun kemudian, sebuah telegram datang
mengabarkan rencana untuk membuat hidup Shinji menjadi
lengkap. Pak Yoshinori Matsutoya akan mengirimkan
putrinya kepada Shinji di Amerika. Putrinya itu suka
bekerja keras dan punya intuisi bisnis. Dia akan
bekerja sama dengan Shinji selama setahun dan
membantunya mengembangkan bisnis penambangan emas.
Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu
datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka.

Hati Shinji sangat bahagia. Dia menghabiskan satu
bulan berikutnya untuk mengubah pondoknya menjadi
tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli ranjang
sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan
menata bekas tempat tidurnya agar pantas untuk seorang
wanita. Gorden dari bekas karung goni yang menutupi
kotornya jendela diganti dengan kain bermotif bunga
dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur
dia meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering
yang dipetiknya di padang rumput.

Akhirnya, tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya
sepanjang hidup. Dengan tangan membawa seikat bunga
daisy segar yang baru dipetik, dia pergi ke stasiun
kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit
ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji
melihat setiap jendela, mencari senyum dan rambut ikal
Asaka.Jantungnya berdebar kencang penuh harap,
kemudian tersentak karena kecewa.

Bukan Asaka, tetapi Yumi Matsutoya kakaknya, yang
turun dari kereta api. Gadis itu berdiri malu-malu di
depannya, matanya menunduk. Shinji hanya bisa
memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar
diulurkannya buket bunga itu kepada Yumi. "Selamat
datang," katanya lirih, matanya menatap nanar. Senyum
tipis menghias wajah Yumi yang tidak cantik.

"Aku senang ketika Ayah mengatakan kau ingin aku
datang ke sini," kata Yumi, sambil sekilas memandang
mata Shinji sebelum cepat-cepat menunduk lagi.

"Aku akan mengurus bawaanmu," kata Shinji dengan
senyum terpaksa.

Bersama-sama mereka berjalan ke kereta kuda. Pak
Matsutoya dan ayahnya benar. Yumi memang punya intuisi
bisnis yang hebat. Sementara Shinji bekerja di
tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di
sudut ruang duduk, dengan cermat Yumi mencatat semua
kegiatan di tambang. Dalam waktu 6 bulan, asset mereka
telah berlipat dua. Masakannya yang lezat dan
senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan
sentuhan ajaib seorang wanita.

Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan, keluh Shinji
dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di
ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Yumi? Akankah dia
bisa bertemu lagi dengan Asaka? Apakah impian lamanya
untuk memperistri Asaka harus dilupakannya? Setahun
lamanya Yumi dan Shinji bekerja, bermain, dan tertawa
bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah
sekali, Yumi mencium pipi Shinji sebelum masuk ke
kamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak
itu, kelihatannya Yumi cukup puas dengan jalan-jalan
berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di
beranda setelah makan malam.

Pada suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur
punggung bukit, membuat jalan masuk ke tambang mereka
longsor. Dengan kesal Shinji mengisi karung-karung
pasir dan meletakkannya sedemikan rupa untuk
membelokkan arus air. Badannya lelah dan basah kuyup,
tetapi tampaknya usahanya sia-sia. Tiba-tiba Yumi
muncul di sampingnya, memegangi karung goni yang
terbuka. Shinji menyekop dan memasukkan pasir
kedalamnya, kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Yumi
melemparkan karung itu ke tumpukan lalu membuka karung
lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan kaki
terbenam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda.
Dengan berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke
pondok.

Sambil menikmati sup panas, Shinji mendesah, "Aku
takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu.
Terima kasih, Yumi."

"Sama-sama," gadis itu menjawab sambil tersenyum
tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia
masuk ke kamarnya.

Beberapa hari kemudian, sebuah telegram datang
mengabarkan bahwa Keluarga Matsutoya dan Keluarga
Kubota akan tiba minggu berikutnya. Meskipun berusaha
keras menutup-nutupinya, jantung Shinji kembali
berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan
bertemu lagi dengan Asaka. Dia dan Yumi pergi ke
stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga mereka
turun dari kereta api di ujung peron.

Ketika Asaka muncul, Yumi menoleh kepada Shinji.
"Sambutlah dia," katanya.

Dengan kaget, Shinji berkata tergagap, "Apa maksudmu?"

"Shinji, sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri
Matsutoya yang kau inginkan. Aku memperhatikan
bagaimana kau bercanda dengan Asaka dalam acara
Perayaan pesta bunga lalu." Dia mengangguk ke arah
adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. "Aku tahu
bahwa dia, bukan aku, yang kauinginkan menjadi
istrimu."

"Tapi..."

Yumi meletakkan jarinya pada bibir Shinji. "Ssstt,"
bisiknya. "Aku mencintaimu, Shinji. Aku selalu
mencintaimu. Karena itu, yang kuinginkan hanya
melihatmu bahagia. Sambutlah adikku."

Shinji mengambil tangan yumi dari wajahnya dan
menggenggamnya. Ketika Yumi menengadah, untuk pertama
kalinya Shinji melihat betapa cantiknya gadis itu. Dia
ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput,
ingat malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan
perapian, ingat ketika Yumi membantunya mengisi
karung-karung pasir. Ketika itulah dia menyadari apa
yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah tidak
diketahuinya.

"Tidak, Yumi. Engkaulah yang kuinginkan." Shinji
merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan
mengecupnya dengan cinta yg tiba-tiba membuncah
didalam dadanya.

Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan
berseru-seru, "Kami datang untuk menghadiri pernikahan
kalian!"
 

Ketika Aku sudah tua

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku......
Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah
bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah
beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu
mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tehnologi dan hal-hal baru,
jangan mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap "mengapa"
darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk
memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat.

Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau
di samping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu
mulai belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini,
sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku.

Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh
rasa syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga
untukmu.

Pesan:
Hormati Ayah dan Ibumu sebelum mereka meninggalkan anda dengan kedukaan yang mendalam.
 

Kisah Racun Penyembuh

Seorang gadis bernama Li-li menikah dan tinggal bersama suami dan ibu
mertua. Dalam waktu singkat, Li-li menyadari bahwa ia tidak dapat cocok
dengan ibu mertuanya dalam segala hal. Kepribadian mereka berbeda, dan
Li-li sangat marah dengan banyak kebiasaan ibu mertua. Li-li juga
dikritik terus-menerus. Hari demi hari, minggu demi minggu, Li-li dan ibu mertua
tidak pernah berhenti konflik dan bertengkar. Keadaan jadi tambah
buruk, karena berdasarkan tradisi Cina, Li-li harus taat kepada setiap
permintaan sang mertua.

Semua keributan dan pertengkaran di rumah itu mengakibatkan suami
yang miskin itu ada dalam stress yang besar.

Akhirnya, Li-li tidak tahan lagi dengan temperamen buruk dan dominasi
ibu mertuanya, dan dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Li-li pergi menemui teman baik ayahnya, Mr Huang, yang menjual jamu.
Li-li menceritakan apa yang dialaminya dan meminta kalau-kalau
Mr Huang dapat memberinya sejumlah racun supaya semua kesulitannya
selesai.

Mr Huang berpikir sejenak dan tersenyum dan akhirnya berkata, Li-li,
saya akan menolong, tapi kamu harus mendengarkan dan melakukan
semua yang saya minta.

Li-li menjawab,"Baik, saya akan melakukan apa saja yang anda minta."
Mr Huang masuk kedalam ruangan dan kembali beberapa menit kemudian
dengan sekantong jamu.

Dia memberitahu Li-Li, "Kamu tidak boleh menggunakan racun yang
be-reaksi cepat untuk menyingkirkan ibu mertuamu, karena nanti
orang-orang akan curiga. Karena itu saya memberimu sejumlah jamu
yang secara perlahan akan meracuni tubuh ibu mertuamu.
Setiap hari masakkan daging babi atau ayam dan kemudian campurkan
sedikit jamu ini. Nah, untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang
mencurigaimu pada waktu ia meninggal, kamu harus berhati-hati
dan bertindak dangan sangat baik dan bersahabat. Jangan berdebat
dengannya, taati dia, dan perlakukan dia seperti seorang ratu."

Li-Li sangat senang. Dia kembali ke rumah dan memulat rencana
pembunuhan terhadap ibu mertua.

Minggu demi minggu berlalu, dan berbulanbulan berlalu, dan setiap
hari, Lili melayani ibu mertua dengan masakan yang dibuat secara
khusus. Li-Li ingat apa yang dikatakan Mr Huang tentang menghindari
kecurigaan, jadi Li-Li mengendalikan emosinya, mentaati ibu mertua,
memperlakukan ibu mertuanya seperti ibu-nya sendiri dengan sangat
baik dan bersahabat.

Setelah eman bulan, seluruh rumah berubah. Li-li telah belajar
mengendalikan emosi-nya begitu rupa sehingga hampir-hampir ia tidak
pernah meledak dalam amarah atau kekecewaan. Dia tidak berdebat
sekalipun dengan ibu mertua-nya, yang sekarang kelihatan jauh lebih
baik dan mudah ditemani.

Sikap ibu mertua terhadp Li-li berubah, dan dia mulai menyayangi
Li-li seperti anaknya sendiri. Dia terus memberitahu teman-teman dan
kenalannya bahwa Li-li adalah menantu terbaik yang pernah ditemuinya.
Li-li dan ibu mertuanya sekarang berlaku sepertu ibu dan anak sungguhan.
Suami Li-li sangat senang melihat apa yang telah terjadi.

Satu hari, Li-li datang menemui Mr. Huang dan minta pertolongan lagi.
Dia berkata, "Mr Huang, tolonglah saya untuk mencegah racun itu
membunuh ibu mertua saya. Dia telah berubah mencaji wanita yang
sangat baik dan saya mengasihinya seperti ibu saya sendiri.
Saya tidak ingin di a mati karena racun yang saya berikan."

Mr. Hunag tersenyum dan mengangkat kepalanya. "Li-li, tidak usah
khawatir. Saya tidak pernah memberimu racun. Jamu yang saya
berikan dulu adalah vitamin untuk meningkatkan kesehatannya.
Satu-satunya racun yang pernah ada ialah didalam pikiran dan
sikapmu terhadapnya, tapi semua sudah lenyap oleh kasih yang
engkau berikan padanya."