Rendah Hati Sang Panglima

Sejak pagi, Hasan dan Husein menangis.

"Diamlah, Anakku," kata Fatimah ," sebentar lagi ayahmu datang ," Ayah mereka , Ali bin Abi Thalib, sedang pergi.
Namun Hasan dan Husein tak mau berhenti menangis. Malah semakin keras.

Fatimah bergegas mencari sesuatu yang bisa dimasak. Tetapi malang sekali,di rumah itu tidak ada makanan sedikit pun.
Pasti Hasan dan Husein sangat lapar. Memang, keluarga Ali bin Abi Thalib hidup dalam kekurangan. Bahkan mereka sering dalam kelaparan.

"Jangan menangis, anakku sayang," bujuk Fatimah.
Fatimah memeluk kedua putranya dengan kasih sayang. Ia menyenandungkan lagu ninabobo kepada keduanya. Tangis Hasan dan Husein mulai mereda. Tidak berapa lama kemudian,Ali bin Abi Thalib tiba di rumah. " Apa ada makanan untukku, Fatimah ?" tanya Ali bin Abi Thalib. Fatimah menggeleng keras. Sudah beberapa hari Fatimah tidak memasak karena tidak ada sesuatu yang dapat dimasak.

"Hasan dan Husein menangis karena lapar," sahut Fatimah seraya memandang kedua putranya. Ali bin Abi Thalib tercengang. Dipanggilnya Hasan dan Husein.

"Kemarilah anak-anakku," panggil Ali seraya tersenyum lebar. Hasan dan Husein berhamburan ke pangkuan ayahnya. Tawa mereka pun terdengar.

"Ayah akan mencari makanan. Kalian ikut ?" kata ali.
Alangkah senang hati Hasan dan Husein diajak jalan- jalan oleh ayahnya .

"Tentu! kami mau ikut!" seru Hasandan Husein bersamaan.
Lalu Alibin Abi Thalib menuntun kudua putra kecilnya. Sepanjang jalan Ali bin Abi Thalib menghibur anak-anknya dengan cerita -cerita yang lucu. Hasan dan Husein tampak Gembira dan melupakan perut mereka yang lapar.

Fatimah tersenyum.hatinya lega melihat anak-anaknya kembali ceria. Ali bin Abi Thalib suaminya memang begitu mengagumkan. Fatimah tidak pernah merasa kekurangan walau hidupnya serba kekurangan. Bukankah Ali bin Abi Thalib seorang Panglima perang yang gagah berani? Yang selalu memenangkan peperangan yang besar.
Rasulullah sering menyerahkan tugas-tugas yang membawa panji-panji Islam kepadanya.
Kemuliaan di sisi Allah jauh lebih besar dibandingkan kemewahan yang melimpah.

Ali bin Ali Thalib membawa Hasan dan Husein ke rumah seorang Yahudi.
"Tuan, apa anda membutuhkan orang untuk menimbakan air?
Tanya Ali. Orng Yahudi itu terheran-heran melihat Ali bin Abi Thalib.

"Bukankah Tuan adalah Ali bin Abi Thalib, seorng Panglima perang dan seorang menantu Rasulullah?" Orang Yahudi balik bertanya. Ia tahu kalau orang di hadapannya itu adalah seorang suami dari putri Rasulallah, pemimpin umat.

"Betul."

"Kenapa Tuan meminta pekerjaan kepada saya ?"

"Kedua putraku sedang lapar. Aku memerlukan beberapa butir Kurma." Ali memandangi kedua anaknya. Hasan dan Husein tampaktampak bermain-main dibawah sebuah pohon.

"Anda boleh memberi upah sebutir Kurma dari setiap satu timba air".
Aneh, orang seperti Ali bin Abi Thalib mau menerima upah untuk memberimakan putranya. Padahal, ia dan keluarganya mempunyai kedudukan yang tinggi dan disegani oleh penduduk Madinah.

"Baiklah, aku setuju," kata orang Yahudi. Setiap satu timba air, Ali bin Abi Thalib mendapat sebutir kurma yang manis.

Ali bin Abi Thalib lantas mengambil air dengan timbanya. Setiap butir kurma yang didapatkannya pada Hasan dan Husein.
Dengan gembira, kedua putranya memakan buah kurma.
Terkadang mereka saling berebut dan Ali bin Abi Thalib melerainya. Ali tidak memperdulikan keletihan badannya karena bekerja seberat itu. Semua dilakukannya dengan hati senang, demi kedua putranya yang amat disayanginya.

"Apa kalian merasa kenyang?" tanya Ali.
Hasan dan Husein mengangguk.
Ali menyisihkan beberapa butir kurma untuk Fatimah. Sementara ia tidak memakan sebutir kurmapun padahal perutnya sangat lapar.

Ali bin Abi Thalib mengajak Hasan dan Husein pulang. Mereka bercanda sepanjang jalan. Saling berkejaran dan tertawa gembira. Hasan dan Husein selalu senang bila bepergian dengan ayahnya mereka.

Di pintu rumah, Fatimah menyambut mereka dengan senyum bahagia. Hasan dan Husein pun menceritakan kepada ibunya kalau mereka baru saja makan buah kurma yang manis.

"Kemana Tuan membawa mereka? " tanya Fatimah kepada Ali bin Abi Thalib.

"Ke rumah orang Yahudi. Disana aku mendapat upah kurma yang manis dari pekerjaanku menimba air," jawab Ali bin Abi Thalib.

Fatimah tersenyum bahagia. Ia sangat bangga pada Ali bin Abi Thalib karena dapat menyenangkan hati kedua anaknya. Sekarang Hasan dan Husein tertidur pulas di atas dipan. Perlahan-lahan Fatimah menyelimuti kedua putranya sambil membisikkan sesuatu.

" Anakku, besok kita berpuasa ya, karena kita tidak memiliki makanan lagi, bisik Fatimah. Rupanya bisikan itu terdengar oleh Ali. Maka, Ali pun mendekati kedua putranya yang sedang terlelap.

"Anakku, nanti ayah akan bekerja lagi agar kalian tidak menangis lagi karena lapar, "kata Ali seraya tersenyum.

Ali bin Abi Thalib tidak merasa malu mengerjakan pekerjaan kasar walaupun ia seorang panglima perang yang di takuti musuh dan disegani teman.
 

Tak Punya Pendirian

Ukbah bin Abi Mu'aith adalah seorang pemuda Quraisy yang baik. Walaupun belum masuk Islam, ia berteman baik dengan Nabi Muhammad Saw. Hampir setiap hari Ukbah bertemu Rasulullah. Sekedar mengobrol atau bertukar pikiran.

"Wahai Muhammad, aku berterima kasih padamu. Engkau sudah bersedia menjadi temanku," kata Ukbah suatu siang. Ukbah gembira bukan main. Siapa yang tak bangga punya teman yang sangat terhormat seperti Muhammad? Yang disebut sebagai Nabi dan Rasul Allah itu? Bukankah Muhammad itu seorang yang agung dan berkedudukan tinggi? Terlebih lagi karena dirinya belum masuk agama yang dibawa Muhammad. Akan tetapi, Nabi Muhammad tidak pernah memusuhinya. Betapa Ukbah merasa bangga dapat berteman baik dengan Nabi Muhammad!

"Muhammad,"kata Ukbah.

"Apakah kau akan datang ke rumahku, jika aku mengajakmu makan bersama di rumahku?"

"Boleh saja. Kalau itu tidak merepotkanmu,"kata Rasulullah. Benar bukan? Muhammad memang sangat baik. Ia menerima undangan Ukbah untuk makan di rumahnya.

Nabi Muhammad pun menepati janjinya memenuhi undangan Ukbah. Di rumahnya, Ukbah sudah menyiapkan hidangan yang istimewa. Aneka makanan yang lezat dan enak sudah disediakan. Ia pun melayani Nabi dengan sangat baik.

Sesudah bercakap-cakap, Ukbah mempersilakan Nabi untuk mencicipi makanan.

"Baiklah, aku ambil yang ini,"kata Nabi seraya meraih makanan di piring.

"Tentu. Silakan pilih apa yang kau suka,"sahut Ukbah.

Sebelum Nabi Muhammad memasukkan makanan ke mulutnya, Nabi Muhammad menoleh pada Ukbah.

"Aku akan memakan makanan dihadapanku ini, kalau kau mau mengucapkan dua kalimah syahadat," kata Nabi kemudian.

Mendengar ucapan Nabi itu, kontan Ukbah terhenyak. Kaget bukan main. Sebab, sejak Muhammad mengajarkan agama baru itu, Ukbah tidak ingin masuk Islam. Sedangkan dua kalimah syahadat adalah pernyataan bahwa seseorang telah masuk Islam. Ia tidak bermaksud meninggalkan agama berhala warisan leluhurnya.

"Bagaimana hai, Ukbah?"tanya Nabi membuyarkan kekagetan Ukbah. Ukbah hanya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan teman baiknya itu. Nabi Muhammad mengerti sikap Ukbah. Beliau tidak langsung pergi meskipun Ukbah tampak keberatan untuk menuruti permintaannya. Beliau tetap duduk di depan makanan yang terhidang itu.

Wahai Ukbah, apakah aku harus memakan makanan ini atau tidak? Kalau makan berarti kau harus mengucapkan dua kalimah syahadat," ulang Nabi.

Ukbah jadi merenung sejenak. Ah, tak enak rasanya menolak permintaan teman baik seperti Muhammad, batin Ukbah. Dan akhirnya Ukbah pun menuruti permintaan Nabi. Ukbah mengucapkan rukun Islam yang pertama itu. Maka resmilah ia menjadi seorang Muslim.

"Sekarang aku mau menikmati makanan yang kau hidangkan," kata Nabi setelah Ukbah mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sangat puas dengan hidangan yang disuguhkan sahabatnya itu. Lalu, beliau pun berpamitan pada Ukbah.

Beberapa waktu setelah kejadian itu Ukbah bertemu dengan sahabat lamanya, Ubay bin Khalaf. Segera diceritakan pertemuannya dengan Muhammad yang baik hati itu.

"Ubay, aku pun sudah masuk agama Islam,"kata Ukbah.

Ubay amat terkejut. "Bodoh! Ukbah, kau bodoh sekali!

Kenapa kau ikuti ajaran sesat Muhammad?! Muhammad itu seorang pembual besar! Islam yang disebarkannya hanya mengada-ada!" kata Ubay dengan sengit. Sejak dulu ia memang orang yang sangat membenci Nabi Muhammad.

"Apa kau sudah gila? Sampai meninggalkan ajaran nenek moyang kita?" sahut Ubay.

Merasa dirinya diperolok-olok dan dimaki-maki Ubay, hati Ukbah menjadi goyah.

"Hei Ukbah! Kalau kau tidak segera melepaskan ajaran Islam maka kau akan lepas dari ikatan masyarakat Quraisy!" ancam Ubay menakut-nakuti. Ukbah tambah cemas dan ketakutan.

"Ubay, bisakah kau menolongku membebaskan ikatan dua kalimah syahadat yang pernah kuucapkan itu?" tanya Ukbah.

"Ah, itu sih, gampang!" jawab Ubay.

"Datangilah Muhammad. Caci maki dia dan ludahi wajahnya. Kalau kau sudah melakukan semua itu berarti kau telah meninggalkan agama sesat yang dibawa Muhammad!" hasut Ubay.

Dengan tidak memikirkan akibatnya Ukbah pun menuruti perintah Ubay. Ia segera menemui Muhammad di rumahnya. Kemudian tanpa membuang waktu lagi Ukbah mencaci-maki Nabi Muhammad dan meludahi wajahnya.

Sebagai orang yang memiliki sifat penyabar, Muhammad tidak langsung membalas perbuatan Ukbah. Akan tetapi, disambutnya cacian, ludahan, dan penghinaan itu dengan ucapan,"Bila suatu hari kita bertemu lagi maka pedangku akan menebas lehermu," kata Nabi.

Ukbah kemudian meninggalkan tempat itu. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Ubay. Diceritakannya kalau ia sudah melaksanakan perintah Ubay. Sambil tertawa senang Ubay memujinya sebagai orang yang sangat hebat. Namun, meskipun mendapat pujian selangit itu, hati kecil Ukbah merasa sangat terhimpit. Karena ia sudah melakukan perbuatan yang salah pada Muhammad, sahabat terbaiknya. Jiwanya pun jadi tersiksa.

"Hmmm......, kenapa dulu aku menuruti ajakan nabi itu? Tetapi, kenapa juga aku harus menuruti perintah si gila Ubay itu? Ah, hatiku benar-benar jadi kacau....," sesal Ukbah.

Apa yang di ucapkan Nabi Muhammad dulu, akhirnya terwujud juga. Mereka bertemu di kota Madinah. Waktu itu kebetulan Ukbah menjadi tawanan Nabi Muhammad, karena telah kalah dalam perang Badr. Rasulullah kemudian memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memenggal lehernya.

Malang sekali nasib Ukbah, orang yang tidak mempunyai pendirian. Jiwanya amat mudah dipengaruhi orang lain dan bujukan syetan.
 

Kendaraan Seorang Bijak

Matahari di padang pasir terasa membakar kulit. Hanya sesekali angin bertiup dan menerbangkan debu-debu yang memerihkan mata. Cukup membuat seorang pemuda kerepotan mengurangi samudra pasir yang membentang luas. Namun, hatinya agak tenang. Unta yang di tungganginya masih muda dan kuat. Ia berharap kendaraannya sanggup menempuh perjalanan yang jauh. Perbekalan yang dibawanya pun akan cukup membuatnya bertahan selama perjalanan. Masih separuh lagi perjalanan yang harus ditempuh pemuda itu.

"Mudah-mudahan, aku selamat sampai Makkah. Dan, segera melihat Baitullah yang selama ini kurindukan," katanya penuh harap.

Panggilan rukun Islam kelima itulah yang membulatkan tekadnya. Mengarungi padang pasir yang terik.

Tiba-tiba, pemuda itu menatap tajam ke arah seseorang yang tengah berjalan sendirian di padang pasir.

Kenapa orang itu berjalan sendiri di tempat seperti ini? Tanya pemuda itu dalam hati. Sungguh mengundang bahaya.

Pemuda tersebut menghentikan untanya di dekat orang itu. Ternyata, ia seseorang lelaki tua yang berjalan terseok-seok di bawah terik matahari. Lalu, anak muda itu segera turun dari kendaraannya.

"Wahai, Bapak Tua. Bapak mau pergi ke mana?" tanyanya ingin tahu.

"Insya Allah, aku akan ke Baitullah," jawab orang tua itu dengan tenang.

"Benarkah?!" anak muda itu terperanjat. Apa orang tua itu sudah tidak waras? Ke Baitullah dengan berjalan kaki?

"Betul, nak, aku akan melaksanakan ibadah haji," kata lelaki tua itu pula.

"Masya Allah, Baitullah itu jauh sekali dari sini. Bagaimana kalau bapak tersesat atau mati kelaparan? Lagi pula, semua orang yang kesana harus naik kendaraan. Kalau tidak naik unta, bisa naik kuda. Kalau berjalan kaki seperti bapak, kapan bapak bisa sampai ke sana?" pemuda itu tercenung.

Ia yang menunggang unta dan membawa perbekalan saja, masih merasa khawatir selama dalam perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya. Siapapun tak akan sanggup menempuh perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki. Apa ia tidak salah bicara? Atau memang orang tua itu sudah terganggu ingatannya?

"Aku juga berkendaraan," kata lelaki tua itu mengejutkan.

Si pemuda yakin kalau dari kejauhan tadi, ia melihat orang tua itu berjalan sendirian tanpa kendaraan apa pun. Tapi, pak tua malah mengatakan dirinya memakai kendaraan.

Orang ini benar-benar sudah tidak waras. Ia merasa memakai kendaraan, padahal aku lihat ia berjalan kaki..., pikir si pemuda geli.

"Apa Bapak yakin kalau bapak memakai kendaraan?" tanya pemuda itu menahan senyumnya.

"Kau tidak melihat kendaraanku?" orang tua itu malah mengajukan pertanyaan yang membingungkan. Si pemuda, kini tak dapat lagi menyembunyikan kegeliannya.

"Kalau begitu, apa kendaraan yang bapak pakai?" tanyanya sambil tersenyum.

Orang tua itu termenung beberapa saat. Pandangannya menyapu padang pasir yang luas. Dengan sabar, si pemuda menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut orang tua itu. Akankah ia mampu menjawab pertanyaan tadi?

"Kalau aku melewati jalan yang mudah, lurus, dan datar, kugunakan kendaraan bernama syukur. Jika aku melewati jalan yang sulit dan mendaki, kugunakan kendaraan bernama sabar," jawab orang tua itu tenang.

Si pemuda ternganga dan tak berkedip mendengar kata-kata orang tua itu. Tak sabar, pemuda itu ingin segera mendengar kalimat selanjutnya dari lelaki tua tersebut.

"Jika takdir menimpa dan aku tidak sampai ke tujuan, kugunakan kendaraan ridha. Kalau aku tersesat atau menemui jalan buntu, kugunakan kendaraan tawakkal. Itulah kendaraanku menuju Baitullah," kata lelaki tua itu melanjutkan.

Mendengar kata-kata tersebut, si pemuda merasa terpesona. Seolah melihat untaian mutiara yang memancar indah. Menyejukkan hati yang sedang gelisah, cemas, dan gundah. Perkataan orang tua itu amat meresap ke dalam jiwa anak muda tersebut.

"Maukah bapak naik kendaraanku? Kita dapat pergi ke Baitullah bersama-sama," ajak si pemuda dengan sopan. Ia berharap akan mendengarkan untaian-untaian kalimat mutiara yang menyejukkan jiwa dari orang tua itu.

"Terima kasih, Nak, Allah sudah menyediakan kendaraan untukku. Aku tak boleh menyia-nyiakannya. Dengan ikut menunggang kendaraanmu, aku akan menjadi orang yang selamanya bergantung kepadamu," sahut orang tua itu dengan bijak, seraya melanjutkan perjalanannya.

Ternyata, orang tua itu adalah Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang terkenal dengan kebijaksanaannya.