Perbedaan Suka... Sayang... Cinta.




* Saat kau MENYUKAI seseorang, kau ingin memilikinya untuk keegoisanmu sendiri.
* Saat kau MENYAYANGI seseorang, kau ingin sekali membuatnya bahagia dan bukan untuk dirimu sendiri.
* Saat kau MENCINTAI seseorang, kau akan melakukan apapun untuk kebahagiaannya walaupun kau harus mengorbankan jiwamu.

* Saat kau menyukai seseorang dan berada disisinya maka kau akan bertanya,"Bolehkah aku menciummu?"
* Saat kau menyayangi seseorang dan berada disisinya maka kau akan bertanya,"Bolehkah aku memelukmu?"
* Saat kau mencintai seseorang dan berada disisinya maka kau akan menggenggam erat tangannya...

* SUKA adalah saat ia menangis, kau akan berkata "Sudahlah, jangan menangis."
* SAYANG adalah saat ia menangis dan kau akan menangis bersamanya.
* CINTA adalah saat ia menangis dan kau akan membiarkannya menangis dipundakmu sambil berkata, "Mari kita selesaikan masalah ini bersama-sama. "

* SUKA adalah saat kau melihatnya kau akan berkata,"Ia sangat cantik dan menawan."
* SAYANG adalah saat kau melihatnya kau akan melihatnya dari hatimu dan bukan matamu.
* CINTA adalah saat kau melihatnya kau akan berkata,"Buatku dia adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan padaku.."

* Pada saat orang yang kau SUKA menyakitimu, maka kau akan marah dan tak mau lagi bicara padanya.
* Pada saat orang yang kau SAYANG menyakitimu, engkau akan menangis untuknya.
* Pada saat orang yang kau CINTAI menyakitimu, kau akan berkata,"Tak apa dia hanya tak tau apa yang dia lakukan."

* Pada saat kau suka padanya, kau akan MEMAKSANYA untuk menyukaimu.
* Pada saat kau sayang padanya, kau akan MEMBIARKANNYA MEMILIH.
* Pada saat kau cinta padanya, kau akan selalu MENANTINYA dengan setia dan tulus...

* SUKA adalah kau akan menemaninya bila itu menguntungkan.
* SAYANG adalah kau akan menemaninya di saat dia membutuhkan.
* CINTA adalah kau akan menemaninya di saat bagaimana keadaanmu.

* SUKA adalah hal yang menuntut.
* SAYANG adalah hal memberi dan menerima.
* CINTA adalah hal yang memberi dengan rela.
 

INILAH ARTI SEGALA CINTA !!!


C I N T A ..........
Tuhan....
Saat aku menyukai seorang teman
Ingatkanlah aku bahwa akan ada sebuah akhir
Sehingga aku tetap bersama Yang Tak Pernah Berakhir
Tuhan.....
Ketika aku merindukan seorang kekasih
Rindukanlah aku kepada yang rindu Cinta Sejati Mu
Agar kerinduanku terhadap - Mu semakin menjadi
Tuhan.......
Jika aku hendak mencintai seseorang
Temukanlah aku dengan orang yang mencinatai - Mu
Agar bertambah kuat cintaku pada - Mu
Tuhan......
Ketika aku sedang jatuh cinta
Jagalah cinta itu
Agar tidak melebihi cintaku pada - Mu
Tuhan....
Ketika aku berucap aku cinta pada - Mu
Biarlah kukatakan kepada yang hatinya tertaut pada - Mu
Agar aku tak jatuh dalam cinta yang bukan karena - Mu
Sebagaimana orang bijak berucap
Mencintai seseorang bukanlah apa - apa
Dicintai seseorang adalah sesuatu
Dicintai oleh orang yang kau cintai sangatlah beratti
Tapi dicintai oleh Sang Pencinta adalah segalanya
 

Untaian kata untuk Dia...



Dia pernah membawaku terbang melintasi langit, menunjukan indah'a dunia dr atas sana, ku katakan, andai bisa setiap saat ku nikmati ini, dia pun berkata, kan ku bawa kau terbang kapanpun kau mau...

Dia pernah perlihatkan indah'a sekotak mimpi, ku bilang, andai dapat ku sentuh itu, pasti lbh indah dr sekedar melihat'a, ia berkata sentuh tanganku, maka kau kan menyentuh'a..

Dia berikan harapan, dia tunjukan semua mimpi, dia terbangkan angan, dia perlihatkan keindahan...

Tpi sayang... Dia pula yg melepaskan semua.. Dia yg mematahkan sayap'a, dia tutup kotak mimpi'a,,

Kini tak lgi diajak'a ku terbang melintasi langit, tak lg di biarkan'a ku menyentuh semua angan'a, tak lg dapat ku lihat semua mimpinya...
Aku jatuh, karna dia jatuh, aku rapuh, karna dia rapuh, aku pun hancur karna dia hancur...

Aku... Masih tetap disini, menunggunya kembali membuka kotak mimpinya, kembali mengajak ku terbang dalam angan'a, kembali menunjukan indah dunia'a...
Ku masih ingin disini, karna ku masih bsa rasakan mimpi'a, ku bisa rasakan angan'a, walau dia tak lg ad disini..

*aku menunggumu, bukan untuk kmbali pdaku, tpi untuk kembali pada mimpimu... Karna itu yg membuatmu berharga untukku...
 

BEDA CINTA,,SUKA,,SAYANG



Dihadapan orang yang kau cintai,

musim dingin berubah menjadi musim semi yang indah

Dihadapan orang yang kau sukai,

musim dingin tetap saja musim dingin hanya

suasananya lebih indah sedikit

Dihadapan orang yang kau cintai,

jantungmu tiba tiba berdebar lebih cepat

Dihadapan orang yang kau sukai,

kau hanya merasa senang dan gembira saja

Apabila engkau melihat kepada mata orang yang

kau cintai, matamu berkaca-kaca

Apabila engkau melihat kepada mata orang yang

kau sukai, engkau hanya tersenyum saja

Dihadapan orang yang kau cintai,

kata kata yang keluar berasal dari perasaan yang terdalam

Dihadapan orang yang kau sukai,

kata kata hanya keluar dari pikiran saja

Jika orang yang kau cintai menangis,

engkaupun akan ikut menangis disisinya

Jika orang yang kau sukai menangis,

engkau hanya menghibur saja

Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan

rasa suka dimulai dari telinga

Jadi jika kau mau berhenti menyukai seseorang,

cukup dengan menutup telinga.

Tapi apabila kau mencoba menutup matamu dari

orang yang kau cintai, cinta itu berubah menjadi

tetesan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam

jarak waktu yang cukup lama.

Tetapi selain rasa suka dan rasa cinta... ada

perasaan yang lebih mendalam.

Yaitu rasa sayang.... rasa yang tidak hilang

secepat rasa cinta. Rasa yang tidak mudah berubah.

Perasaan yang dapat membuatmu berkorban untuk orang yang kamu sayangi.

Mau menderita demi kebahagiaan orang yang kamu sayangi.

Cinta ingin memiliki. Tetapi Sayang hanya ingin

melihat orang yang disayanginya bahagia..

walaupun harus kehilangan..
 

Pengkhianat Cinta

Pengkhianat janji-janji cinta,
Pada akhir semua hanya dusta.
Kau sebut selalu mau,
Aku disini kau tunggu.


Apa makna rasa, asa, dan rencana,
Terkarat tak lagi berharap tuk cepat bersama.
Benar, ku gagal ini jadi abu,
Berbeda jadinya yang dulu berlalu.


Semua kini tak sepenuhnya sama,
Di dalam sana ternyata berbeda rasa.
Pedih pilu berbaur melulu,
Setelah akhir tertoreh sembilu.
 

I LOVE HOW YOU LOVE ME

I LOVE HOW YOU LOVE ME
...and only by sharing can we understand love
Have you ever told someone that you love him or her? Has anyone ever told you this? What did you mean by the statement "I Love You"? And, what do you think the other person meant? We can love people who mean a lot to us: our parents, our siblings, our relatives, our close friends, our spouse, etc. To those who are loved, the message is, I find you to be a worthwhile person. We often express love in different ways. Besides verbally, we might express it by doing special things for our loved ones, like bringing them their favorite food, accompanying them to buy clothes, or writing them letters, poems, or perhaps songs.
My Level Of Maturity Counts
The type of love we have for other is closely associated with the level of maturity we are at when we love. The more mature we are, the higher level type of love we'll have.
Low Level Type Of Love
The low level type of love occurs when we...*are intensely absorbed with the other person. We love with exaggerated attachment to the person: I'd rather die than live without you. Stress and tension are often produced. A certain amount of ambivalence, then is likely to enter the relationship. It is when love and hate collide: I can't live without him and I can't live with him either. This style of loving is more like an addiction rather than love, where our emotions are ruled by the other person's action: When you treat me like a queen, I feel ecstatic like being in heaven, but when you ignore me, I feel depressed like being in hell, I can't imagine how my life would be if you ever leave me. The message is: I love you because I depend on you (to make me feel worthwhile).
*exploit the other person in order to satisfy our personal needs. Our real concern for the other person's welfare is in question. We are likely to be enthusiastic in loving only whene things suit our personal needs: ...oh honey, how sweet of you doing such a nice thing for me. I love you so much. I'll be everything you need... But when we see that there's no chance to fulfill our needs our enthusiasm (in loving) decreases either gradually or drastically: ...Can't you hurry up? Why take so long? I'm getting tired and I've got lots to do! We also often claim that we are concerned for the other person while we actually are concerned for the other person while we actually are concerned for ourselves. For example, using love as an excuse, we demand the other person to do what we think he or she should do without being concerned about what he or she think and feels. Here, our focus is not really on the other person's welfare, but more on the positive feelings we'll experience if the person meets our standarts.This is reflected in the way we force the person to do things our way, and our hurtful reaction to the person when he or she fails to do what we want: Why do you wear that silly yellow dress? I told you that your complexion doesn't match that color at all! I love you and only want what's good for you, but you never seem to listen to me! Great! Now everybody's gonna laugh at us! We love with conditions: I'll treat you lovingly if you.... Here, the message is clear: I love you because I need you (to help me fulfill my personal needs).
 

10 Trik Bikin Cewek 'Mengejar' Cowok

Cowok memang ditakdirkan lebih agresif ketimbang cewek. Itulah kenapa akhirnya cowok menjadi pihak yang lebih banyak mengejar daripada dikejar-kejar. Tapi kini, tidak sedikit cewek yang "tergila-gila" kepada cowok dan berusaha mengejarnya. Ini jelas terlihat, bukan hanya di cerita film-film, sinetron atau novel. Tapi juga di kehidupan nyata. Bagaimana agar hal itu terjadi pada diri kamu?
Berikut ini, ada 10 cara yang diyakini ampuh membuat para cewek "tergila-gila" sama cowok -yang disarikan dari berbagai sumber-:
1. Jujur dan gentle
Sebenarnya, bukan perkara sulit membuat dia 'mendatangi' kamu. Tentu saja asal tahu caranya. Begini salah satunya, begitu kamu merasa bertemu dengan seorang cewek yang seseuai dengan apa yang diidam-idamkan, maka tunjukan bahwa kamu adalah pria jujur, sopan, sekaligus charming. Tunjukkan juga kalau kamu tuh sangat antusias untuk mendengarkan ceritanya. Kalau kamu bisa terlihat seperti itu, bisa dipastikan cewek-cewek bakal kepingin nempel terus.
2. Jangan terlalu banyak menilai
Ini nih kebiasaan yang sering dilakukan banyak cowok -cewek juga sih-. Padahal semua orang tahu, tidak ada manusia yang sempurna atau nobody's perfect. Yah, siapa yang nggak jengkel. Kalau dinilai-nilai terus, cewek juga bakal sebal. Apalagi kalau dibanding-bandingkan dengan cewek lain, bisa-bisa dia malah menjauhi kamu.
3. Jangan mengikat
Kamu boleh saja menyukainya, sekaligus berharap dia akan menyukai kamu tentunya. Tapi bukan lantas kamu harus mengekang atau mengikatnya. Beri dia ruang gerak. Maksudnya jangan keseringan menyorongkan diri di sekitar dia. Biarkan dia menebak-nebak, dimana kamu berada, sedang melakukan apa dan sama siapa. Asal tahu saja, ketidakhadiran kamu itu, justru bisa menumbuhkan kerinduan dalam dirinya.
4. Willing
Saat dia bercerita sesuatu, tunjukkan kesan bahwa kamu tertarik dan antusias mendengarkan ceritanya. Tunjukkan pula bahwa kamu bersedia mendengarkan keluhan dan curahan hatinya. Entah cerita biasa-biasa saja atau masalah keluarga, pekerjaan, hobi, sampai mimpi-mimpinya. Jangan lupa untuk menanggapi cerita-ceritanya dengan pendapat yang brilian, tanpa terkesan menggurui.
5. Banyak senyum
Sudah jadi rahasia umum kalau senyuman itu merupakan salah satu senjata ampuh untuk menebar pesona. Pun, kata para ahli, tersenyum itu merupakan refleksi diri seseorang yang punya pemikiran positif. Nah, kalau kamu memang gemar tersenyum, maka tularkan kebiasaan tersebut ke cewek yang ditaksir. Caranya? Bikin dong dia tersenyum lewat joke-joke yang kamu lontarkan.
Tapi ingat, don't be selfish, dong. Jangan cuma dia yang kamu bikin tersenyum, tapi akan lebih baik jika kamu bisa membuat teman-temannya bahkan juga keluarganya untuk tersenyum juga. Coba saja lihat hasilnya, dia pasti makin terpesona dengan kamu. Apalagi survei membuktikan kalau 9 dari 10 wanita lebih menyukai cowok yang punya selera humor tinggi.
6. Jadi yang terbaik
Menjadi yang terbaik, bukan lantas kamu harus melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mampu dilakoni. Jangan memaksakan diri, be the best you can be saja. Nggak susah kok. Kamu pasti tahu dong apa yang digemari para cewek? Dengan tampil bersih, harum, nafas segar, dan nggak terlalu berantakan, cewek pasti banyak yang melirik.
7. Jangan mengejar duluan
Cobalah untuk menahan keinginan melancarkan aksi terlebih dahulu. Kamu harus agak sabar, kamu boleh saja meneleponya, tapi jangan terlalu sering -selusin kali dalam sehari misalnya. Usahakan juga untuk tidak sering-sering mengirim SMS atau e-mail yang isinya penuh dengan bullshit. Seperlunya saja, tapi usahakan agar isi pembicaraan -kalau menelepon- cukup bermakna dan membuat dia terpesona.
8. Jual mahal sedikit
Yang ini merupakan lanjutan atau bentuk lain dari nasihat yang melarang cowok untuk mengejar cewek duluan. Meskipun mungkin si cewek tahu betul bahwa kamu sebenarnya ngebet dan "tergila-gila" sama dia, coba deh keukeuh untuk tidak melayani apa maunya. Pura-pura cuek kalau kamu sedang di dekatnya.
9. Biarkan dia menebak-nebak
Perlu diketahui bahwa, mahluk yang namanya cewek itu gemar akan sesuatu yang bersifat misterius, lho. Itulah kenapa banyak cewek yang menjadi pengarang cerita-cerita berbumbu petualangan dan misteri, seperti Agatha Christie atau Enid Blyton. Bikin dia seperti itu. Caranya?
Jangan langsung membuka diri. Beri dia sedikit-sedikit saja tentang siapa sebenarnya kamu. Soalnya, kalau langsung membuka diri bisa-bisa dia akan bosan dan bilang "sudah nggak ada tantangan lagi". Makanya biarkan rasa ingin tahunya tentang diri kamu terus tumbuh dan berkembang. Dengan begitu, dia pun akan selalu berharap untuk mengenal kamu lagi dan lagi.
10. Jangan sok akrab
Tidak sedikit cowok yang bertanya-tanya, kenapa para cewek lebih memilih menjadi sahabat ketimbang menjadi kekasih. Salah satu jawabannya adalah, dia mungkin merasa hubungan dengan kamu sudah kelewat dekat, sehingga lebih enak untuk dijadikan teman. Nah, bila kamu benar-benar suka sama cewek, sebaiknya jangan dulu sok akrab. Begicu. (*/imaulana)
 

Cinta atau egois?

Aku sekarang tidak akan menulis yang serius dan indah-indah tentang cinta, lha wong aku sendiri tidak tahu apa itu definisi cinta. Jujur saja aku tidak begitu senang membahas masalah cinta dan aku juga tidak begitu peduli dengan definisi cinta karena yang penting adalah prakteknya yang berupa perwujudan dan peng-implementasian rasa cinta tersebut secara nyata. Selain itu sepertinya sudah banyak rekan-rekan blogger yang menulis tentang cinta, jadi sekarang aku hanya akan menulis apa yang melintas di kepalaku setelah aku mendengar sebuah lagu.

Sebenarnya aku lebih senang mendengarkan lagu-lagu yang “bermerk” PARENTAL ADVISORY seperti Limp Bizkit dkk. Tetapi berhubung kemarin kepala rasanya penat tidak karuan maka sambil menyelesaikan pekerjaan rutinku secara iseng aku mendengarkan lagu yang baru diberi temanku. Lagu yang kudengarkan kemarin adalah lagu berjudul “Tanpa Kekasihku” yang dinyanyikan Agnes Monica …. (sebenarnya bukan aku banget gitu lho kalau mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi wanita). Aku dengarkan lagu itu karena kuharap dengan mendengar lagu yang relatif “lembut” rasa penat di kepalaku bisa sedikit berkurang…lagian tidak ada salahnya sekali-kali mendengarkan lagu yang dinyanyikan penyanyi wanita.

Intinya, lagu itu bercerita tentang seorang cewek (Agnes) yang ditinggal mati kekasihnya…uppsss kasar banget ya? Maksudku ditinggal meninggal dunia alias wafat oleh kekasihnya. Tentu saja lagu itu menunjukkan betapa besar rasa cinta si gadis tersebut kepada sang kekasihnya yang malang tersebut . Tetapi menurutku (ini menurutku lhoooo) ada sepenggal kalimat pada lirik lagu tersebut yang menodai besarnya cinta yang sedang berusaha diekspresikan si gadis tersebut. Penggal kalimat tersebut adalah…

Dimanakah letak surga itu, biar kugantikan tempatmu denganku…


Penggal kalimat tersebut menurutku tidak menunjukkan rasa cinta si gadis tersebut kepada kekasihnya, tetapi justru sebaliknya kalimat itu malahan menunjukkan keegoisan si gadis tersebut. Bagaimana tidak egois, lha si gadis tersebut mau menggantikan sang kekasih karena tempat itu adalah surga (yang menurut semua agama tentunya merupakan tempat yang sangat indah)…

“Enak saja kamu™…sudah asyik-asyik aku ada di surga eh malahan kamu™ mau merebut tempatku di sini…”, mungkin itu yang ada di pikiran sang kekasih di surga :D

*Ngawur stadium akhir*

Pertanyaannya…seandainya sang kekasih ditempatkan di neraka apakah si gadis tersebut masih mau dan rela menggantikan tempatnya? Apakah dia akan menangis sambil berteriak…

Dimanakah letak neraka itu, biar kugantikan tempatmu denganku…

Masihkah si gadis rela menggantikan penderitaan yang dirasakan sang kekasih di neraka?

Masih banyak contoh keegoisan lain yang ada dalam hubungan cinta, sudah sering dengar istilah “sehidup-semati” kan?

“Sehidup-semati” juga sebenarnya menunjukkan keegoisan dalam hubungan percintaan karena dengan sumpah “sehidup-semati” itu berarti pihak yang memang seharusnya mati lebih dulu secara tidak langsung telah memaksa pasangannya untuk ikut mati bersamanya…. (Maaf tidak membicarakan masalah takdir-maut ya :D )

Mungkinkah ada hubungan percintaan tanpa keegoisan?.
 

Keraguan....!!!

Entah mengapa rasa ini berubah
Dulu memang aku mencintaimu
tapi sekaran hati ku lain padamu
terkadang rasa itu berubah mungkin karna sikap dan sifatmu
kau seperti tak menghargai ku


awal yang sulit untukk ku yakini
ku takut kalau ini hanyaa cinta sesaat
mungkin karna kau begitu cepat menyatakkaan
perasaan cintamu padaku
rasa ini sungguh tak menentu rasa ini
tidah mempunyai sutu arah yang pasti
ku sudah memastikan tapi
rasa ini sayang untukmu
hanya segelintir perasaan egois
yang membuatku berfikir
kau tak pantas untukku
mungkin karna masa lalu ku
yang membuatku berfikir seperti itu
 

Ketika cinta menjadi sayang

Indah selalu masa pacaran, dunia milik berdua. Kata cinta ditebar Tidak peduli dimana lagi ngapain, SMS, BB, YM, bahkan umumkan lewat status di Facebook.

Hmmm… Mabok Kali ya… Memang cinta bikin orang mabok lupa daratan. Nama ya juga orang mabok, jadi kadang Tidak Ada logika, yg salah seakan benar Dan yang Benar bisa disalahkan. Huh… Capek dech..

Tidak Ada yang salah, semua itu Adalah proses yang mesti dilalui, untuk mengerti arti cinta sebenarnya. Kadang setelah putus atau diputusin cinta, baru terdar seperti orang mabok disiram air.

Yang dulu ya manis asam asinine jade basa Dan yang dulunya hangat jadi basi.

Baru mulai mencari arti cinta yang sebenarnya, baru mengerti cinta Bukanlah sebuah hubungan yang gampang putus oleh waktu. Cinta Adalah rasa yang tak lekang oleh waktu. Rasa sayang, Menjaga hatinya, Dan cinta hanya memberi …. Bisa lakukan itu?

http://wardika.org/2011/09/13/13/33/nasehat-cinta/ketika-cinta-menjadi-sayang/
 

Cinta Yang Sempurna

Belajar Mencintai Seseorang Yg Tdk Sempurna Dgn Cara Yg Sempurna

Ketika kita bertemu orang yang tepat untuk dicintai, Ketika kita berada di tempat pada saat yang tepat, Itulah kesempatan. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang membuatmu tertarik, Itu bukan pilihan, itu kesempatan. Bertemu dalam suatu peristiwa bukanlah pilihan, Itupun adaah kesempatan.

Bila kita memutuskan untuk mencintai orang tersebut, Bahkan dengan segala kekurangannya, Itu bukan kesempatan, itu adalah pilihan. Ketika kita memilih bersama dengan seseorang walaupun apapun yang terjadi, Itu adalah pilihan. Bahkan ketika kita menyadari bahwa masih banyak orang lain Yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasanganmu Dan tetap memilih untuk mencintainya, Itulah pilihan.

Perasaan cinta, simpatik, tertarik, Datang bagai kesempatan pada kita. Tetapi cinta sejati yang abadi adalah pilihan. Pilihan yang kita lakukan. Berbicara tentang pasangan jiwa, Adasuatu kutipan dari film yang Mungkin sangat tepat : "Nasib membawa kita bersama, tetapi tetap bergantung pada kita bagaimana membuat semuanya berhasil" Pasangan jiwa bisa benar-benar ada. Dan bahkan sangat mungkin ada seseorang Yang diciptakan hanya untukmu. Tetapi tetap berpulang padamu Untuk melakukan pilihan apakah engkau ingin Melakukan sesuatu untuk mendapatkannya, atau tidak... Kita mungkin kebetulan bertemu pasangan jiwa kita, Tetapi mencintai dan tetap bersama pasangan jiwa kita, Adalah pilihan yang harus kita lakukan. Kita ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai TETAPI untuk belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna
 

Cinta bukan hanya hitam

Yang telah berlalu meninggalkan angan
Aku tersudut diantara ribuan kotak yang berisi harapan
Harapan yang pupus termakan lapuknya fikiran

Terdiam, menerung dan terjungkir keadaan
Hitam pekat semakin pekat
Menderu redam merusak nadi

Aku hilang dari sesuatu
Aku pasrah dari ketiadaan
Dan aku tergoda oleh candu dunia

Cinta bukan hanya hitam
Namun cinta itu pekat
Saat cinta mengahntam rongga hati merusak jantung
Dengan keras dan kencang
Semua hilang tak terbekas
 

Pertemuan dan perpisahan

Berjalan Melintasi waktu...
berharap waktu kan datang menani...
kembalikan waktu yang dulu, penah datang dengan keindahan...
berganti dengan keinginan hati....
menutupi segala keinginan tuk dapat kembali

Waktu yang memisahkan...
waktu yang akan mempertemukan.....
sebuah kenangan dalam sebuah kisah
terukir dan tumbuh bersemi dalam hati...

keinginan dari sebuah kerinduan...
tak mendatangkan sebuah pertemuan...
hanya sebuah rasa yang terpendam.
butuh sebuah pelampiasan...

bila rasa itu semakin hari semakin besar...
sulit untuk dapat melepaskan rasa itu...
hanya ada satu cara dalam keinginan...
semoga waktu mempertemukan....

dalam sebuah cerita...
tersimpan suka dan duka...
dalam sebuah percintaan...
ada sayang ada ada luka...

petemuan dan perpisahan...
tak akan pernah hilang dari kehidupan...
semoga waktu mempertemukan....
Dia..... dan sebuah kenangan lama....
 

cinta.....

Cinta itu akan menjadi kematian bagimu, kalo kamu
terperangkap olehnya.
Cinta bagai misteri datang dan pergi tanpa permisi.

Kamu tak perlu mencarinya karena cinta akan datang
pada waktu yang tepat.
Kamu tak dapat membelinya karena harga sebuah cinta
sangatlah mahal

Cinta akan lahir pada saat yang tepat tanpa kita
ketahui kapan, dan tanpa
kita ketahui kepada siapa. Jika suatu hari pasangan
anda mengatakan "Aku tak
mencintaimu lagi", Let it go, walaupun practically
susah bagi sebagian
orang. Biarkan berlalu karena cinta tak dapat
dipaksakan. Jika cinta
dipaksakan cinta tersebut layaknya akan dapat
meledak menjadi kebencian. Let
it go. Cinta akan datang kembali kepada kamu suatu
waktu, entah kapan
pokoknya pada waktu yang tepat menurut ukuran Tuhan.
Tuhan tak akan
membiarkan kamu sendirian.

Lalu bagaimana dengan perasaan kamu kalo kamu
ditinggal ama cinta ?
Simpanlah dalam-dalam cinta tersebut. Kenanglah
sebagai bagian dari
pengalaman hidupmu. Menangislah jika perlu.
Berbahagialah karena anda pernah
dicintai, berbahagia karena cinta pernah ada di
hatimu.

Bagi yang cowok jangan pernah jadikan kecantikan
sebagai ukuran kamu untuk
mencintai seseorang karena akan sangat gampang
sekali membuat cinta terus
menguasai dirimu. Tapi pandanglah jauh ke depan
pikirkan baik-baik karena
semua akan menyangkut masa depanmu.

Bagi yang cewek jangan jadikan uang, kedudukan dan
segala yang fana jadi
titik point dari Cintamu karena akan sangat gampang
sekali uang, kedudukan
dan segala yang fana akan membutakan cintamu.
Seolah-olah engkau hanya cinta
akan uang, kedudukan dan segala yang fana daripada
kamu sendiri merasakan
cinta itu

Bagaimana jika cinta hilang dalam sebuah perkimpoian ?
Dalam suatu
perkimpoian, cinta adalah cinta yang harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan
dan kepada suami/istri dan kepada anak (jika ada).
Kamu nggak bisa pergi
begitu saja dengan mengatakan "Aku tak mencintai
kamu lagi."

Dalam sebuah perkimpoian "ANDA" adalah dua menjadi
satu "ANDA" adalah
suami/istri dan kamu sendiri. Jangan turuti kemauan
anda tapi turuti kemauan
"ANDA". Bagi anda yang mencintai, ubahlah makna
cinta menjadi KASIH.

Cinta itu bersemayam di dalah hati (bukan di otak
atau pikiran), jika hati
anda penuh dengan kasih, cinta tak akan pernah
hilang dari diri anda.

Kasih itu sabar ; Kasih tidak cemburu ; Kasih
menerima apa adanya dan
memberi yang ada ;

Kasih itu komitmen sehingga seseorang yang memiliki
kasih tak akan melupakan
cintanya ;

Kasih itu mengampuni dan memaafkan : Kasih adalah
Cinta Sejati karena
berasal dari Tuhan. Tanamkan Kasih di hati anda
sejak awal maka Cinta anda
tak akan hilang

Tanamkan kasih maka kamu akan bertahan jika
kekasihmu mengatakan, "Aku tak
mencintaimu lagi" Berat memang, apalagi jika kita
masih mengasihi dia. Jika
kamu dan pasangan kamu memiliki kasih, kamu berdua
boleh mengatakan : "Orang
ketiga ? Siapa takutttt"

Segala perubahan butuh waktu lakukan-lah semuanya
dengan kasih selamat
mencoba dan sukses untuk anda.
 

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Penulis : Habiburrahman El Shirazy

(Sumber: http://lenijuwita.wordpress.com)







“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri. Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Direktur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan. …”

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu…

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du. Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita…

Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Tiga puluh tahun yang lalu …

Selengkapnya silahkan dibaca di: http://lenijuwita.wordpress.com/2006/11/12/ketika-derita-mengabadikan-cinta/
 

Be My Valentine

Penulis : El-Syifa



“Tell me whom you love and

I will tell you who you are

Will you be my valentine?”

Meti meremas secarik kertas tanpa dosa di genggamannya. Tulisan cantiknya yang mengisi ruang kecil lembaran putih itu berkerunyut kusut. Valentine! Valentine! Huh! Kapan dia akan mendapat memo cinta seperti itu dari seorang pangeran impiannya? Seperti Rosa, seperti Pupuy, Lula, atau Sarah. Mereka semua sudah punya pacar dan segudang rencana menjelang hari kemerdekaan cinta, 14 Februari itu. Bahkan, sejak minggu-minggu ini, sebelum angka-angka di kalender Januari menunjuk nilai tertinggi.

Memang, di antara lima sekawan, bukan dia sendiri yang belum punya pacar. Pupuy dan Lula masih sorangan wae dan mereka menikmati kesendirian mereka. Tapi, untuk hari Valentine nanti, mereka sudah punya pasangan untuk teman ngedate di pesta-pesta romantis milik orang-orang yang penuh cinta. Itu istilah mereka. Sementara Meti? Gadis itu melirik sosoknya di kaca etalase toko buku megah itu. Separah apa wajahnya hingga tak ada seorang pun pria berminat padanya? Untuk sehari saja sekalipun. Dada Meti menyesak.

Kotak empat persegi yang dipenuhi kartu-kartu bergambar hati dan merpati berwarna pink di depan pintu utama berjubel pengunjung. Semua hampir gadis-gadis belasan tahun. Meti berjalan menghindar.

“Nah, lho, ketangkap sekarang!”

Jantung Meti berdebam-debam seketika. Menghentak-hentak dadanya. Wajahnya memucat tanpa setetes darah mengisi pembuluh di muka bulatnya itu. Dua gadis semampai berseragam abu-abu putih berdiri di hadapannya. Terkikik dengan tawa khas mereka. Rosa dan Pupuy.

“Mau cari kartu, ya? Bocoran buat bikin janji, ya? Sama siapa? Ronnie?” selidik Pupuy antusias. Cengirannya melatari semua pertanyaan interogasinya itu.

”Wah, iya, pasti Ronnie, nih! Dengar-dengar dia belum ada gandengannya, tuh! Ayo, dong, Met, nanti keduluan orang tahu rasa, lo!” Rosa mengompori.

”Apaan, sih!” tidak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini tensi Meti memang cepat sekali melonjak. Meggelegak berbusa-busa. Persis air mendidih bersuhu seratus derajat celsius yang bisa mematikan kuman-kuman. Terlebih jika itu menyangkut Ronnie.

”Marah, nih, ye! Ingat, lho, valentine gak ada istilah ngomel, musti sayang-sayangan. Termasuk sama temen. Tul, kan, Puy?” Rosa tersenyum dikulum. Sebelah matanya berkedip nakal.

”Valentine apaan, aku nggak ngenal, tuh, budaya barat jelek kayak gitu. Nggak ada manfaatnya lagi,” cetus Meti ketus.

”Siapa bilang jelek? Asyik lagi! Kita bisa bebas mengungkapkan rasa sayang kita pada semua orang tanpa rasa malu atau bersalah. Hari itu, kan hari kasih sayang. Kasih coklat, kasih bunga, pokoknya ungkapan cinta dan nggak ada orang yang berhak melarang,” Rosa bereaksi cepat. Pupuy terkikik di belakangnya. Dua macan di gank mereka sudah siap bertarung. Salah satu harus dilarikan sebelum seisi hutan kocar-kacir dibuatnya.

”Budaya seperti itu, kan, tidak Islami,” sergah Meti.

”Memangnya dalam Islam nggak ada cinta dan kasih sayang, ya?!”

”Nggak. Yang dikatakan dengan coklat bergelatin lemak babi, mawar merah, dan pesta–pesta gala murahan tidak ada!”

”Stop! Sudah, sudah, jangan berkelahi di sini. Kasih sayangnya hilang lagi nanti. Yuk, Ros, kita duluan. Darah tinggi Meti lagi kumat, tuh! Mengalah sajalah, setidaknya untuk hari ini sampai Valentine nanti,”Pupuy menggamit pinggang Rosa. Menariknya meninggalkan Meti yang masih menyimpan kedongkolan di hatinya.

”Sorry, Met!” Pupuy masih menyempatkan menghadiahkan ciuman sekilas di pipi Meti, menimpa sebagian batas kerudung di wajahnya. ”Kita duluan, nih, nggak apa-apa, kan?”

Pupuy yang bijak. Batin Meti. Wasit yang baik dalam komunitas lima makhluk terunik di bumi ini. Tanpanya, tidak akan mungkin mereka utuh sampai hari ini. Pertengkaran demi pertengkaran kerap membayangi persahabatan mereka, terutama karena darah panas Meti yang gampang terpancing. Pupuy yang selalu menengahi. Membawa kesejukan. Membawa perekat untuk mereka berlima.

Dan Rosa, dia yang paling tomboi. Hampir tak ada nilai keperempuanan pada diri anak itu. Tapi anehnya, masih juga ada makhluk bernama cowok yang tertarik pada rambut cepak dan raut keras wajahnya. Meti mendesah. Dia feminin, setidaknya itu yang dia rasa. Berjilbab lagi! Banyak cowok suka perempuan berjilbab. Lebih anggun, lebih beraura, lebih kelihatan suci. Ho … ho … meski itu seharusnya milik mbak-mbak yang jilbabnya menyapu dada dan punggungnya. Meti, sih, ditiup angin saja, ujung jilbabnya berlarian. Membuka sekilas kuduknya yang bersih tak tersentuh matahari. Tapi apapun, Meti tetap berkerudung. Dengan baju full pressed body dan celana cordoray sekalipun. Atau jangan-jangan selembar kain di kepalanya itu yang membentenginya dari tangan laki-laki. Tidak ada yang mau dengannya? Tidak laku? Hiii ….

Membayangkan semua itu Meti bergidik sendiri. Benarkah? Bisa saja Ronnie tidak suka dengan perempuan berkerudung. Lebih suka gadis-gadis yang berambut indah terurai seperti bintang iklan sampo di televisi. Lho, kok, Ronnie? Meti menangkap kembali hatinya yang mulai melangkah pergi lagi. Ya, kenapa Ronnie?

Entahlah, namun bulan-bulan terakhir jantung Meti selalu berdegup sepuluh kali lebih kencang jika mengingat makhluk yang satu itu. Apa lagi mendengar namanya di sebut. Apa lagi bersirobok dengannya. Seperti udang yang dicelupkan ke air mendidih, pasti. Merah padam. Tanda-tanda apa? Benarkah dia naksir Ronnie, seperti kata sebuah majalah remaja yang kerap dia baca? Suka curi pandang, suka ngomongin, gampang panas dingin, corat-coret namanya di mana-mana, ngelamunin, salah omong, juga jadi manusia paling majnun di dunia. Duhai ….

”Cinta itu fitrah manusia, namun kita harus bisa menempatkannya pada suatu keadaan yang dilegalkan Allah. Islam telah mengatur semua itu. Memberinya kemudahan dengan pernikahan …” Tidak sama persis kalimatnya, namun Meti ingat, pernah membacanya di sebuah situs Islam lokal. Menikah? Tidak boleh pacaran sebelumnya? Nggak ku … ku …!

Gedubrak!

Meti mengelus jidatnya. Senyum sipunya mengembang. Lebih mirip meringis sebenarnya. Etalase buku ditabraknya dengan sukses.

”Nggak apa-apa, Mbak?” seorang gadis pramuniaga menghampirinya.

”Oh, ehm, nggak!” Meti tergagap. Tangannya masih memegangi jidatnya. Lumayan sekali.

”Nggak sakit?”

Meti menggeleng, ”Maaf, ya, saya benar-benar nggak sengaja.”

Dengan malu-malu, diiringi tatapan beberapa pengunjung, Meti berlalu. Menghampiri eskalator dan menaikinya hingga lantai dua.

***

”Satu kelompok dengan Ronnie?” batin Meti sambil memandangi selembar kertas berisi daftar nama kelompok-kelompok praktikum biologi minggu depan.

”Nah, tertangkap!” Rosa menepuk dua bahu Meti sekeras-kerasnya. Matanya segera bergabung pada lembaran kertas di tangan Meti.

”Satu kelompok dengan Ronnie, ck, ck, boleh juga!” decaknya ketika menemukan nama Ronnie terpampang sebagai ketua kelompok Meti. ”Hoi, girls, Meti gabung dengan Ronnie!” teriaknya sadis kepada teman-teman lain.

Ronnie yang tengah menulis di bangkunya mendongak. Meti memerah. Sedetik kemudian memutih kapas. Lesu. Jantungnya kumat lagi. Terlebih melihat Ronnie ada disitu.

”Jadi valentinan?” tanya Lula yang memang sedikit gagap daya tangkapnya.

”Iya,” angguk Rosa tanpa memedulikan keadaan Meti yang nyaris pingsan.

Meti tiba-tiba menemukan satu mata pedang menusuk hatinya. Kilat mata milik Ranti yang duduk di deretan paling depan. Satu-satunya gadis berjilbab lebar di kelasnya. Yang paling getol mengajaknya ngaji setiap Jumat siang di musala sekolah. Dia ibarat malaikat yang selalu mengawasi gerak-gerik Meti. Menegurnya tanpa segan-segan. Dan Meti tidak suka itu. Sok tahu.

Dengan sedikit menata hatinya, Meti pergi menjauh. Ini jalan yang terbaik sebelum pertengkaran terjadi. Di depan malaikat Ranti dan di depan si Romeo Ronnie, Meti tak mau merusak imejnya. Jaim sedikit untuk kemaslahatan yang lebih banyak.

Di sudut sekolah, Meti meluruskan punggungnya. Memeluk kedua lututnya. Ronnie bahkan tak bereaksi tadi. Sebegitu parahkah aku? Keluhnya. Tanggal empat belas sudah di depan mata. Anak-anak gaul kelasnya sudah ribut. Dan apakah Meti akan merana sendirian di kamarnya, pada hari penuh makna itu? Meti menatap bayangannya yang jatuh di antara kerikil-kerikil putih yang tertata rapi di hadapannya. Selembar daun flamboyan kering terbang bebas di udara dicerabut angin dari tangkainya. Merana. Meti mendesah.

***

”Legenda lain bercerita tentang seorang pendeta Katholik dari abad III bernama Valentinus yang dijebloskan ke penjara dan dihukum mati oleh Kaisar Claudius karena ingin menyebarkan agamanya. Selama di penjara, Valentinus tetap memegang teguh imannya dan diceritakan bersahabat dengan putri sipir penjara. Ketika akhirnya Kaisar menghukum mati Valentinus pada 14 Februari 269, ia menulis surat bertuliskan from your valentine kepada anak sipir penjara sebagai tanda mata terakhir.

Seiring dengan berjalannya waktu, cerita tentang Valentine ini berkembang dalam berbagai versi. Namun orang biasanya lebih memfokuskan pada kisah romantis di belakangnya. Ada yang mengatakan bahwa Valentine sesungguhnya jatuh cinta pada anak sipir penjara itu, dan surat yang diberikannya sebagai tanda mata terakhir merupakan awal dari tradisi menulis surat cinta di antara pasangan kekasih …”

Meti menggarisbawahi kata-kata seorang pendeta Katholik pada artikel sebuah majalah remaja di tangannya. Bibirnya mengerucut. Shiba, boneka beruang birunya, dihempaskan begitu saja ke lantai.

Meti tahu cerita itu dari dahulu. Hafal di luar kepala bahkan. Versi Romawi, Prancis, Inggris, Wales, Itali, Jerman, Amerika Utara, bahkan sampai cerita gadis penenun di Cina. Dia juga tahu, itu bukan tradisi Islam. Tapi jika cinta menghampiri, siapa yang kuasa mengelaknya? Semua temannya mengharap valentine tiba. Mengungkapkan rasa cintanya pada pujaan mereka. Bahkan lebih luas lagi.

”Nggak harus kekasih, pada bonyok, adik, kakak, saudara, bahkan si bibi atau mamang sopir bisa saja diungkapkan. Pokoknya hari itu harus full senyum, deh!” kata Pupuy dengan bijaknya.

Meti tersenyum. Dia sudah membacanya di majalah remaja khusus cewek edisi valentine yang terbit minggu ini. Semua yang berbau perayaan pink itu dikupas habis. Tips mau kencan, kado-kado istimewa, baju-baju yang cocok, wah, komplet.

”Met, ada telepon, tuh!” panggil Mamah dari ruang tengah. Telepon? Sepertinya tadi dia tidak mendengar deringnya. Meti kian pusing. Mengapa jadi begini? Dia melihat sekilas kalender di atas rak bukunya. Tanggal sebelas Februari.

”Makasih, Mah!” seru Meti sambil mengangkat gagang telepon.

”Ranti,” jelas Mamah tanpa ditanya.

Meti berubah. Mengganti nada bicara yang sudah di ujung lidahnya. Tadi, dia sangat berharap, semoga saja yang meneleponnya … Ronnie!

”Meti, bisa bantu kami nggak, buat ngurusin diskusi khusus bulan ini? Kebetulan kami lagi kekurangan orang di kepanitiaan, nih!” kata Ranti setelah berucap salam.

”Kapan?”

”Tanggal empat belas, dari asar sampai ba’da magrib.”

Tanggal empat belas? Pesta Valentinan gengnya.

”Bisa, ya? Soalnya kami benar-benar butuh orang. Diskusi kali ini rada spesial, pembicaranya saja Ustad Zakaria yang ngetop itu,” pinta Ranti penuh harap.

Meti menggaruk kepalanya. ”Aku nggak yakin, sih, tapi nanti aku usahain!”

Malas, Meti menutup teleponnya. Ke musala atau gabung dengan teman-temannya, ya? Kalau gabung dengan Pupuy cs bisa-bisa dia dicengin habis, jika hadir tanpa pasangan. Biarpun mereka membolehkan datang dengan saudara, tapi malu, dong, sementara mereka semua dengan pangeran masing-masing. Jangan-jangan dikira nggak laku!

***

Ini hari termemuakkan bagi Meti, sebenarnya. Hari-hari yang panjang telah dia lewati dengan penuh kecemasan dan kebimbangan. Ronnie tidak pernah bercakap dengannya kecuali saat praktikum biologi di lab. Sedikitpun tak ada harapan baginya. Segalanya terasa gelap.

Ah! Meti nyaris tak percaya melihat daftar surat yang ada di inbox-nya. Ya, internet obat stres paling mujarab untuk Meti. Dia bisa bermain ke mana saja dia suka.

Ronnie Alam Bhuana. Meti mengucek matanya. Nggak salah? Segera dibukanya surat berisi bom waktu yang siap meledakkan dadanya itu.

Singkat. Pendek saja isinya.

Tell me whom you love and

I will tell you who you are

Will you be my valentine?

Ronnie

Napas Meti memburu. Tidak salahkan penglihatannya? Pangerannya telah datang di saat-saat kritis hampir menjelang. Sesaat jemarinya bergetar. Lupa untuk me-replay surat bersejarah ini. Angannya bermain-main di atas langit-langit kamar. Baju apa yang akan dia kenakan? Memakai lipstikkah? Parfum apa yang cocok? Semuanya berputar dalam kerut merut otaknya. Dan mestikah dia mengenakan jilbabnya? Angan Meti terbanting membentur dinding. Ya, bagaimana dengan jilbabnya?

***

Meti berputar sekali lagi di depan cermin. Kulot merah tua, gamis selutut warna pink yang manis dihias renda-renda di ujung lengan dan ujung bawah, juga jilbab mungil warna senada yang dipasang gaya. Bibirnya disapu usapan tipis lipstik merah muda. Meti tampak berbeda. Dia tersenyum. Baru dia sadari kini, sebenarnya dia memiliki sisi kecantikan yang selama ini tersembunyi.

”Duh, yang mau valentinan …!” ledek Mamah ketika Meti keluar dari pintu kamar. Gadis itu tersipu, ”Jangan sampai malam, ya, Met.”

”Oke, deh!” sahut Meti mantap.

Dia menatap jam yang terpasang di dinding. Hampir setengah empat. Ronnie berjanji menjemputnya tepat setengah empat.

”Tuh, kan, Met, meski pakai jilbab kamu tetap bisa tampil gaya dan mengikuti tren,” cetus Mamah yang menjajari Meti. Dulu Mamahlah yang mendorong Meti untuk berjilbab. Katanya, nenek ingin cucu perempuan satu-satunya berkerudung setelah akil baligh. Maklum, kakek dan nenek kan, Haji! Mamah sendiri kalau pergi biasanya berkerudung. Kerudung gaya.

Hampir jam empat. Meti mulai gelisah. Masa, sih, kencan pertama telat. Nggak punya sopan santun.

Telepon berdering. Meti nyaris melompat menyambar gagang telepon warna hitam itu.

”Apa?!” dia nyaris tak percaya.

Wajahnya berubah.

“Baik, nggak apa-apa, kok. Bye!” Meti menutup telepon.

Mamah yang memperhatikan semua itu menatapnya heran.

Meti melangkah gontai ke kamarnya.

”Ada apa, Met?” kejar Mamah.

”Pestanya batal,” sahut Meti ketus.

”Lho?!”

”Ronnie lupa kalau hari ini dia punya acara dengan keluarganya.”

”Kok gitu?”

”Udah, ah, Mah. Meti mau tidur aja,” Meti merajuk. Hatinya hancur berkeping-keping. Yah, ternyata dia memang tidak berharga. Nggak ada orang yang cinta sama dia. Karena dia buruk rupa, karena dia berat badannya empat kilo lebih banyak dari bobot idealnya. Meti memperkuat bendungan air di matanya. Dia tidak mau menangis di depan Mamah.

Meti meremas-remas Shiba hingga bulu-bulunya berantakan. Tak peduli baru di-laundry dua hari lalu. Air matanya berlelehan membasahi pipinya yang tersapu bedak. Bayang daun-daun palem di luar jendela melindunginya dari sinar hangat matahari sore.

Menit demi menit berlalu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Diliriknya weker di atas meja sekilas. Tergesa, disambarnya tas di sampingnya. Setengah berlari dia melintasi ruang tengah.

”Mau ke mana, Met?” tanya Mamah yang tengah membaca di sofa.

Meti tidak melihatnya, ”Valentinan!” sahutnya.

”Katanya tadi?” Mamah mengernyitkan keningnya.

”Di musala sekolah ada diskusi tentang valentine, Mah,” jelas Meti,”Daripada di rumah, bete.”

Mungkin diskusi telah dimulai, tapi terlambat sedikit tidak apa-apa daripada tidak sama sekali. Meti membuka pintu taksi dengan hati lapang. Ke mana dia selama ini, ya Allah? Meti tahu, belum sepantasnya dia mencintai manusia sebelum dia mampu mencintai Allah dengan seluruh jiwanya. Dia bersyukur Ronnie tak datang. Setidaknya dia masih diingatkan setelah selama ini terbuai dengan kehidupan yang ditawarkan sahabat-sahabatnya.

Lampu merah menghadang laju taksi yang ditumpangi Meti. Jalanan sore tak pernah sepi dari macet. Tiba-tiba Meti tersenyum. Hidup itu seperti jalan raya, harus taat peraturan jika ingin selamat. Coba saja jika lampu merah diterobos, bisa hancur tubuhnya diserbu ratusan mobil yang tengah melintas juga.

Dia ingat Pupuy, Rosa, Lula, yang harus dia tinggalkan. Ya, harus. Namun, suatu saat Meti berjanji akan kembali. Karena, dia mencintai mereka dan dia ingin berbagi dengan mereka tentang makna sebuah cinta yang lebih berharga dari sebatang coklat. Cinta pada Allah. Pada-Nya kita takkan kecewa.

***


Diambil dari buku kumpulan cerita berjudul ”Kidung Kupu-Kupu Putih”.

karya El-Syifa.etakan I, Shafar 1422 / Mei 2001.

Diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Bandung.
 

Suami Impian

Penulis : Asma Nadia



“Apa lagi, Nirina?”

Gadis dengan garis wajah oriental itu tak menjawab. Hanya menggoyang-goyangkan kakinya, resah.

“Tak ada yang salah dengan perawakannya, kan? Tidak seperti lelaki yang terakhir datang.”

Nirina tersenyum. Pasti pikirannya melayang ke kejadian tujuh bulan lalu, ketika seorang lelaki datang melamar. Biyan, namanya. Kehadiran sosok tegap itu segera saja membawa kami pada pertengkaran sengit,

”Aku tidak bisa.”

”Kenapa?” kejarku cepat. Ini bukan pertama kali Nirina beralasan. Selalu ada saja kekurangan lelaki yang melamarnya.

Kekanak-kanakan!

Terlalu serius. Lihat keningnya yang terus-terusan terlipat!

Wajahnya aneh, tidak terlihat tulus.

Entahlah, dari caranya berjalan, sepertinya dia tipe lelaki yang suka mendominasi perempuan!

Dan masih ada segudang alasan yang keluar dari bibir tipisnya.

Pun tujuh bulan lalu, ketika aku menerka-nerka keberatannya terhadap Biyan. Wajah lelaki itu simpatik, bahasanya pun santun. Penampilannya memang terbilang biasa, tapi jelek pun tidak.

”Jadi, apa lagi, Nirina?”

Matanya!

Di tempat duduknya, Nirina menggoyang-goyangkan kakinya, persis anak kecil. Tangan gadis itu berkeringat. Jantungnya berdegup lebih keras.

Aku memperhatikan Biyan lebih lekat, seandainya kamera, maka barangkali aku sudah menangkap wajah sederhananya dengan zoom terdekat.

”Tidak ada yang salah dengan matanya!” ujarku, setengah berbisik.

Nirina menggeleng-gelengkan kepala. Kerudung segi empatnya terusik.

Gemas, aku tak lagi bicara. Percuma, toh Nirina lebih sering tak mendengar perkataanku.

Kulihat mereka masih bercakap-cakap, tapi tak ada perkembangan. Upaya kedua orang tua Nirina untuk mengarahkan obrolan ke tingkat lanjutan pun tak menampakkan hasil.

Lima belas menit kemudian, Biyan pamit.

Selesai sudah, pikirku. Nirina memang terlalu.

”Jangan menyebutku terlalu!” protesnya cepat.

Seperti biasa Nirina selalu tahu pikiranku, seperti aku selalu bisa menebak isi kepalanya. Kami memang teramat dekat.

”Tapi kamu memang terlalu, Nirina.”

”Tapi, matanya….”

”Tidak! Bukan matanya. Ayolah, percuma bohong di depanku.”

Nirina menyenderkan badannya di pintu kamar. Kedua tangannya ditangkupkan ke wajah. Tak lama, bahunya mulai terisak-isak.

”Tolong, jangan desak aku terus.”

Entah isaknya, entah memang waktu itu sudah terlalu malam untuk berdebat. Aku mengalah.

Itu yang terjadi tujuh bulan lalu, tapi tidak kali ini.

Rahangku mengeras. Apapun yang terjadi, pokoknya aku sudah bertekad untuk mempertahankan pendapatku mati-matian. Demi kebaikan gadis itu. Nirina tidak bisa terus-terusan begini. Tidakkah dia sadar usia yang terus melaju tanpa hambatan?

”Aku tahu,” desisnya lemah.

Aku gembira mendengarnya. Sungguh. Tidak ada yang lebih menggembirakanku selain keberanian Nirina untuk jujur pada dirinya sendiri.

”Ya, bagus begitu. Mantapkan hatimu, Nirina.”

Nirina tak menjawab. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah lelaki ke sekian yang masih terus bicara. Di antara mereka, kedua orang tua Nirina sebaliknya berkali-kali justru melirik anak gadisnya.

Mudah-mudahan kali ini berhasil, barangkali begitu pemikiran mereka. Setidaknya Nirina belum meninggalkan teman satu kantornya itu, meski sudah setengah jam lebih.

”See? Tidak jelek juga kan memberi dirimu kesempatan. Setidaknya kalian sudah satu kantor, pasti lebih mudah, sebab telah saling mengenal.”

Nirina tiba-tiba menggeleng. Melunturkan keyakinan diriku barusan.

”Kami memang satu kantor, tapi beda divisi. Dia orang baru malah. Tak banyak yang kutahu,” bisiknya dengan intonasi yang telah kuhafal.

Tidak! Tuhan, jangan biarkan Nirina menarik dirinya lagi. Kumohon….

Tapi Nirina mulai terlihat tidak nyaman. Kedua kakinya bergerak-gerak lagi. Wajah gadis berkulit kuning langsat itu kembali tak tenang. Puncaknya….

Jangan! Jangan begitu Nirina. Eh, kembali, jangan pergi. Nirina…!


”Aku tidak bermaksud begitu. Bukan maksudku menjadi perempuan yang selalu mengecewakan.”

Aku menarik napas panjang, bingung harus menjawab apa.

”Kamu egois, Nirina. Suami impian tidak akan datang jika kamu terus begini.”

Jawabanku yang tegas itu serta-merta membuat Nirina terkesiap,”Benarkah?”

Aku mengangguk.

”Maafkan aku, bukan maksudku begitu.”

Aku tiba-tiba saja ingin tertawa keras.

”Jangan keras-keras. Telingaku tidak tuli.”

Aku tetap saja tertawa. ”Nirina… Nirina,” sebutku kemudian, masih dengan gelak yang tersisa,”kamu tidak harus meminta maaf padaku. Memangnya, apa peduliku?”

Nirina terlihat tak mengerti.

”Dengar,” lanjutku lagi,”Tak peduli apakah seorang Nirina menikah atau menjadi perawan tua, tidak banyak bedanya bagiku. Toh kita tetap sama-sama, kan? Tidak ada yang bisa mengubah itu.”

Mata sipit memanjang milik Nirina tampak bingung.

”Kamu egois, Nirina. Dengar, selama ini kamu hanya mempedulikan perasaanmu, kemauanmu, dan lupa memandang sekitar. Sekali-kali keluar dari dirimu, Nirina. Pandang sekelilingmu dengan mataku. Lihat, betapa kecewanya wajah Papa dan Mama, setiap kali kamu menarik diri dari proses mengenal lebih dekat calonmu. Bisa kamu lihat sekarang?”

”Kamu bohong!” Mata Nirina mendadak berair.

”Itu yang sejujurnya, kamu tahu itu.”

Gadis itu menggeleng lagi. ”Tidak, tidak. Kamu bohong. Papa dan Mama baik-baik saja, mereka dua orang tua yang luar biasa. Tidak memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka. Tidak seperti banyak orang tua lain yang kutahu.”

Ketika Nirina meninggikan intonasinya, dan mulai dengan serampangan membela diri, aku memilih bungkam. Tidur mungkin jalan keluar yang baik. Tapi sebelum pergi, aku meninggalkan kalimat ini padanya.

”Tidakkah setiap orang tua ingin menjadi kakek dan nenek, Nirina? Kebahagiaan apa lagi yang bisa kita berikan pada mereka, setelah kelucuan sebagai kanak-kanak menghilang?”

Nirina diam.

Tapi aku tahu, sebetulnya dia menyimpan kalimatku baik-baik dalam ruang penting di hatinya.

Buktinya, seminggu kemudian gadis itu kembali membuka diri. Padahal laki-laki yang datang kali ini sama sekali tidak dikenal gadis itu. Mariska, kakak satu-satunya Nirina yang mengenalkan.

Tingginya cukup, berat badan sedang. Alis hitam dan tebal, nyaris bertaut di dahi. Bibirnya sedikit kecokelatan, namun tidak terlihat hitam oleh rokok. Sungguh memberi kesan awal yang baik buatku, kuharap begitu juga buat Nirina.

”Ssst, siapa tadi namanya?”tanyaku, sekonyong-konyong.

Nirina sedikit tersipu, namun dijawabnya pertanyaanku dengan suara serupa bisikan,”Kamu tidak menyimak rupanya?”

Aku tertawa.”Tidak, sebab kamu sendiri tidak ingat namanya, kan?”

Nirina kembali tersipu. Tapi aku senang melihat semburat merah muda di wajahnya yang kuning.

”Bagus.”

Laki-laki itu menyebutkan namanya, membuat pias merah jambu itu kembali memuai di wajah Nirina. Seperti kanak-kanak yang tertangkap basah mencuri permen.

Aku tersenyum kecil melihatnya.

”Bagus ini teman Kak Riska waktu di SMA, Nirina.”

Kami berpandangan, lalu berbarengan ber’O’.

Setelah itu kata-kata mengalir, silih berganti. Selama pertemuan itu pula, aku mencatat perubahan cukup besar pada Nirina. Gadis itu terlihat lebih membuka diri, dan berusaha keras terlibat dalam percakapan secara aktif.

Dia, misalnya, mau bertanya di mana tempat tinggal pemuda bernama Bagus itu, lalu apa hobinya. Dan ketika Bagus menyebutkan membaca sebagai hobi utama, mata memanjang milik Nirina berkerlap.

Nirina bahkan berani menanyakan pekerjaan Bagus, juga keluarganya. Pemuda itu menjawab semua pertanyaan Nirina dengan simpatik. Aku suka melihat cara berbicaranya yang begitu teratur, tidak terburu-buru, santun tanpa perlu menjadi kaku.

“Ssst, kamu bertanya atau interogasi?” godaku saat Bagus berpamitan.

Awalnya Nirina tertawa saja. Tapi sewaktu jam demi jam berlalu, gadis itu berangsur tak tenang.

“Tidak perlu cemas begitu, Nirina.”

Gadis kesayanganku itu seperti tak mendengar, terus mondar-mandir di kamarnya yang berukuran 3 x 4. Lalu tak berapa lama, setelah Mariska pulang, kecemasan Nirina berubah menjadi kepanikan.

”Hey… hey… tenang saja, Nirina.”

Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu betul, aku terlalu agresif tadi. Harusnya tidak begitu. Ya Allah… lihat kan wajahnya begitu lega ketika pertemuan berakhir? Seharusnya aku lebih menahan diri, dan tidak bersikap seperti seorang polisi yang melakukan investigasi.”

Belum pernah kulihat Nirina segundah itu. Berkali-kali tangan rampingnya ditepukkan ke kening.

“Duh, bodohnya aku!”

“Tenang,”

“Tapi tadi kamu sendiri yang bilang begitu, kan?”

Aku garuk-garuk kepala, benar sih. Tapi tadi kan aku hanya menggodanya saja.

”Sekarang dia akan melihatku tak ubahnya aggressor, seperti Israel terhadap Palestina.”

”Kamu berlebihan, ah.”

”Ok, seperti striker di lapangan terhadap kipper?”

”Ini bukan pertandingan bola, Nirina. Tenanglah.”

”Sekarang dia akan berubah pikiran,”suaranya mengandung penyesalan.

Aku terenyuh mendengarnya. Suara gadis itu barusan terdengar tulus, pekat dengan kekhawatiran. Seolah berkata, dia telah menemukan suami impian.

Padahal ini baru pertemuan pertama.

Alhamdulillah.

”Tapi, bagaimana jika Bagus tidak kembali?”

”Gampang saja,” sahutku mencoba menenangkannya.

”Maksudmu?”

”Ya, setelah semua kecerewetanmu tadi, siapa yang sudi kembali?”

Nirina shocked, tapi aku tertawa.

“Hey… hey. Aku cuma bercanda, kok.”

Bibir gadis itu menyungging senyum. Hanya sekilas sebelum mendung kembali menggayuti, dan membuat paras Vic Zhounya murung.

Syukurlah kekhawatiran gadis itu tak terbukti. Beberapa hari kemudian, pemuda bermata hitam yang memiliki alis tebal itu datang lagi. Mariska kembali menemani percakapan dua anak muda itu, bahkan Papa dan Mama belakangan ikut meningkahi obrolan ketiganya.

Raut wajah Nirina cerah, aku senang merasakan hatinya yang melonjak-lonjak. Tampaknya pemuda ini memiliki kecocokan dengan Nirina, dan bisa memenangkan kunci hati gadis itu.

Pada pertemuan kelima, Bagus membawa kedua orang tuanya, dan mengajukan niatan. Mariska memang tak salah pilih makhluk untuk menikahi adiknya. Bagus tak seperti kebanyakan pemuda yang cuma mau pacaran, sebaliknya cowok itu dengan terus-terang mengemukakan keinginannya untuk memperistri Nirina.

Tibalah saatnya semua mata tertuju pada Nirina, yang sejak tadi menundukkan wajah mungilnya, yang hari itu dibalut kerudung ungu muda.

Diam-diam aku juga seperti mereka, menunggu. Berdoa, agar Nirina tak lagi ragu. Kemudian pelan-pelan kami melihat Nirina mengangkat wajahnya. Sebutir embun menggenang di kedua mata sipitnya. Dan seperti sulit dipercaya, Nirina kemudian menganggukkan kepala.

Yes! Yess! Yesss!

Aku bersorak paling kencang, meski sepertinya tak ada yang mendengar, kecuali Nirina sendiri.

Rapat kilat dilakukan, tanggal pun ditentukan. Hanya dalam waktu dua pekan sebuah pernikahan siap digelar. Aku betul-betul salut melihat kegigihan dan ketenangan pemuda bernama Bagus itu. Ketenangan yang perlahan mengalir pada diri Nirina, dan memberinya kemantapan hati.

Nirina… Nirina… akhirnya! desisku di antara peluk cium, Kakak, Papa, dan Mama. Kegembiraan serupa memancar dari wajah kedua orang tua Bagus, juga pemuda itu sendiri.

Begitulah, hari demi hari setelahnya, aku mencatat keriangan Nirina. Antusiasmenya dalam memilih undangan, mengurus sendiri ke percetakan, terkadang ditemani Bagus dan adiknya. Lalu mencari masjid tempat akad nikah dilakukan. Juga menyewa tempat resepsi besar, sesuai keinginan kedua orang tua Nirina. Aku sendiri tak heran, maklumlah mereka dua keluarga besar. Tentu banyak yang akan protes jika tak diundang.

Hingga hari H tiba.

Sejak malam sebetulnya aku menangkap sesuatu yang lain. Bukan kecemasan seperti yang sudah-sudah, meski udaranya nyaris serupa. Nirina, seperti menunggu sesuatu.

Salat malam dilakukan gadis itu, dengan sujud-sujud panjang. Lalu tangannya menengadah. Usai tahajud, gadis itu membuka jendela, dan matanya menerobos dalam kegelapan, seolah mencari-cari sesuatu. Bahkan hingga Subuh berkumandang, detak jantungnya kembali berbunyi keresahan, agak berbeda, tapi nyaris seperti yang lalu-lalu.

Mulanya aku tak mau bicara. Kubiarkan saja dia merenungi masa-masa terakhir sebagai seorang gadis. Lusa dia akan terbangun dengan seorang pendamping di sisinya, dalam dunia yang sama sekali berbeda. Bahkan sejak mereka masuk ke peraduan.

Harusnya, Nirina bahagia. Kenyataannya?

Lepas salat Subuh, ketika Mama menggedor kamar Nirina, menyuruhnya mandi, Nirina melakukannya setengah hati saja. Begitu pun ketika Mariska mengingatkannya agar segera keluar kamar, untuk dirias sebagaimana pengantin umumnya, Nirina menunjukkan sikap enggan.

Aku tak tahan lagi berdiam.

”Nirina, kenapa lagi?”

Wajah orientalnya tampak cantik dalam lipstik warna merah jambu. Tapi gadis itu masih saja tepekur di pinggiran ranjang pengantin yang sudah dihias dan menyebarkan wangi melati.

”Kamu harus ganti baju, Nirina.”

Kepalanya tertunduk,”Ya, aku tahu.”

”Lalu? Jangan katakan kamu ragu lagi.”

Nirina tak menjawab, kedua kakinya digoyang-goyangkan hingga ranjang sedikit terayun. Sikap yang kontan membuatku merasa cemas.

”Kamu tidak ragu lagi, kan? Tidak berubah pikiran, kan?”

Nirina menggelengkan kepalanya.

”Lalu apa? Ada apa?”

Nirina mengembuskan napas berat. ”Entahlah… aku rasa… aku….”

Kalimatnya terhenti, gadis itu menarik napas lagi.

”Kenapa denganmu?”

Nirina melompat dari tempat tidur. Barusan suara Mama menyuruhnya berpakaian, terdengar lagi.

Tangan Nirina menarik resleting kebaya putihnya. Lalu masih tetap dengan wajah murung, memakainya.

”Please, jangan sekarang, Nirina. Jangan ragu ketika kamu sudah sedekat ini,” pintaku, setengah memohon.

”Aku tahu,”

”Lalu?”

”Aku tidak ragu, hanya saja…,” suaranya kembali terputus teriakan Mama. Nirina menjawab panggilan orang tuanya tanpa membuka kamar. ”Sebentar, Ma….”

”See? Semua orang gugup hari ini, Nirina, apalagi kamu. Itu wajar!”

Nirina tak menjawab. Gadis itu kini telah selesai berpakaian. Dipandangnya sosok kecil mungil dalam balutan kebaya berwarna putih gading, dan kain batik di depan cermin. Selembar kain schiffon sebagai pelengkap jilbab dikenakannya tanpa ekspresi.

Ahh, aku tak suka melihat wajah cantiknya yang masih saja murung.

”Kalau bukan ragu, apa lagi?” kejarku setelah beberapa saat kami hanya berdiam.

”Aku menunggu pertanda.”

”Apa?” teriakku kaget,”Pertanda?”

”Ya!” jawabnya tegas,”Pertanda dari Allah, bahwa Bagus memang suami impian, laki-laki yang dipilihkan-Nya untukku! Apa itu salah?”

Fhew. Nirina sungguh menguras kesabaranku.

“Dan kamu belum mendapatkannya? Selama obrolan lima kali dengan calonmu itu, tidakkah kamu bisa menangkap pertanda?”

Nirina menggeleng.

Ya Allah. Aku makin kesal dibuatnya.

“Maksudku bukan itu, tapi pertanda. Sesuatu yang bisa membuatku lebih mantap, sebab tahu memang dialah pilihan dari-Nya.”

“Pertanda, ya? Pertanda?!”

“Ya… sudah sejak semalam aku memikirkannya.”

“Kenapa tidak mencari pertanda ketika tanggal belum lagi ditetapkan?”

“Tidak bisa.” Kepalanya menggeleng lagi, ”Sebab kali ini aku tak punya alasan. Tidak matanya, tidak cara berjalannya, tidak sikapnya, tidak dahinya yang selalu berkerut, tidak ada!”

Bagus nyaris sempurna di mata Nirina. Sosok suami yang diimpikannya. Aku tahu pasti itu.

”Kalau begitu, ini cuma alasan yang dicari-cari!” teriakku dengan suara tertahan.

Sementara matahari terus bergulir. Di luar kamar sudah terdengar suara riuh sanak saudara yang datang untuk mengantar Nirina ke tempat akad nikah, sekaligus resepsi. Pintu sudah berkali-kali diketuk, tapi Nirina belum keluar juga. Dan alasannya cuma satu: gadis itu belum menemukan pertanda!

Ini gila!

”Jangan menyebutku begitu. Sudah kubilang ini cuma masalah waktu. Pertanda itu pasti datang.”

”Seperti apa?”

Nirina mengangkat bahunya. ”Entahlah, tapi mungkin aku akan mendengar orang-orang menyebut kata ’bagus’ berkali-kali, atau awan tiba-tiba membentuk inisial nama kami berdua, atau….”

”Atau kamu tiba-tiba melewati mobil pengantin lain, atau melewati toko kue di mana terlihat kue pengantin tiga tingkat disana, atau sekawanan burung-burung terbang di langit membentuk wajah calon suamimu itu… atau…,” ujarku asal.

Nirina mengangguk. ”Ya, seperti itulah. Apa pun yang bisa dijadikan pertanda.”

Aku benar-benar hilang akal, Nirina kenapa tidak mendengar kata-kataku, sekali ini saja!

”Cobalah mengerti, terlalu banyak yang harus aku pertaruhkan,” ujarnya mencoba meyakinkanku, ”Bagaimana kalau Bagus tak sebaik yang kita duga? Bagaimana jika dia sudah punya istri dimana-mana, bagaimana jika dia nanti ternyata suka memukuli istri? Atau ternyata pernah terlibat mafia di luar negeri, atau merampok bank?” Suara Nirina meninggi, di sela ketukan pintu yang kembali terdengar.

”Kamu kebanyakan nonton infotainment!” sergahku cepat.

Ketukan di pintu berulang lagi. Ritmenya kian cepat. Orang-orang pasti mulai tidak sabar.

”Nirina….”

Itu suara Mama.

Nirina diam, aku tahu dia menungguku mengucapkan sesuatu.

“Kalau begitu, cari kelebihannya Nirina. Pusatkan pikiranmu pada kebaikan-kebaikannya, itulah pertanda! Itulah alasan kenapa kamu harus menikah dengan Bagus.”

Nirina diam, aku tahu dia sedang berpikir keras.

Tetapi tak ada waktu, suara ketukan di pintu kini telah berupa gedoran.

Nirina harus segera mengambil keputusan. Sebentar lagi pintu mungkin didobrak dari luar. Mereka bisa saja mengira gadis itu telah pingsan di kamarnya karena nervous.

Di tepi ranjang, Nirina masih berpikir. Mengetahui itu aku menjadi lebih semangat mengembuskan pikiran demi pikiran.

Sikapnya yang sopan, Nirina.

Matanya yang tak liar ketika menatapmu.

Perhatikan bagaimana dia selalu menunggu lawan bicaranya selesai, sebelum menanggapi.

Pikirannya yang cerdas telah menghemat banyak biaya pernikahan.

Keinginan untuk memperistrimu secepatnya.

Ingat senyumnya yang hangat. Matanya yang teduh.

Kesabarannya menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Juga keraguan yang beberapa kali melintas.

Lalu salatnya yang selalu tepat waktu.

Air mata Nirina menetes.

Aku mengangguk, ”Itu lebih dari pertanda, Nirina. Allah mengirimkanmu seorang lelaki yang baik.”

Nirina mengikuti anggukanku.

”Well, mungkin tidak seganteng Keanu Reeves, perawakannya pun tidak setegap Ade Ray, apalagi suaranya jika dibandingkan Clay Aiken yang merdu, belum lagi….”

Nirina mengapus air matanya. ”Sudah, sudah. Jangan membuatku kembali ragu,” potongnya cepat.

Aku setuju.

Di dalam mobil yang mengantarnya ke tempat akad nikah, aku mendengar Nirina bersenandung kecil.

”Nirina….”

”Apa?”

”Tidak jelek kan menuruti kata hati?”

Gadis berwajah oriental itu mengangguk. Lalu tersenyum lebih lebar. Menenangkan Papa dan Mama, yang sejak tadi tampak kebingungan menyaksikan percakapan Nirina denganku sepanjang perjalanan. Barangkali alasannya karena aku cuma sosok tanpa wujud. Ah, seharusnya sejak tadi aku memperkenalkan diri pada mereka.

”Ehem… namaku nurani, atau….”

Aku masih berusaha memikirkan beberapa nama lain, ketika sebuah suara yang akrab denganku sejak kelahirannya, menyergah. ”Ssst… jangan berisik!”

Mengingatkanku akan prosesi yang sebentar lagi dimulai.


Diambil dari buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama “Suami Impian” yang diterbitkan oleh PT. Lingkar Pena Kreativa, Cetakan kedua, April 2006. Dapatkan bukunya dan simak cerita-cerita keren dari Asma Nadia, Birulaut, Ifa Avianty, Sakti Wibowo, dll.
 

Plis Dong, Akh!

Penulis : Nova Ayu Maulita




“Assalamu’alaikum, Ukhti!” suara melengking itu spontan membuatku mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.

“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”

Mulutku tercekat. Hari gini dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin tenggelam ditelan bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang bersama adik mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku mengisi mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya skandal dengan ikhwan yang satu ini.

“Iya, liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis menahan malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang sesekali tersenyum nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku sudah berubah menjadi traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent face.

Tommy adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga. Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD, dia pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai tiba-tiba dia sudah satu jurusan, bahkan sekelas denganku di universitas. Tapi tentu saja semua sudah berubah. Paling tidak sekarang aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul dengan lawan jenis.

Tapi, entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul, bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga sudah cukup paham. Sekarang kami sama-sama bergabung di rohis fakultas. Tommy sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul bareng ikhwan-ikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitiaan SKI, dan juga cukup sering menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan Islamnya cukup terakreditasi. Tapi untuk masalah ’centilnya’ ini, ah entahlah… .

”Kok diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong…!” Disuruh ngomong aku malah semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer, ”Ngomong dong, sayang..!” Weeit…!

”Iya, ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang kangennya sama orang rumah. Kemari… nggak jadi deh!” aku nyaris saja keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.

”Kemarin kenapa? Cerita dong… aku jadi penasaran nih.”

”Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”

”Uh… dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”

Aku cuma ngiyem mendengarnya.

”Eh, Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu di seberang. ”Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.

”Itu tuh, bajunya kok nggak match ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya hijau, jilbabnya item, eh… tasnya merah. Bagusan kan kalau roknya item dan tasnya apa gitu kek, yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok kuning. Aduh…!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer sambil memukul-mukulkan telapak tangan ke jidatnya. ”Payah ah, penampilannya! Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus, bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.

Aku sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang butuh komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok dia dari tadi. Hiiihhh!

”Plis dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian harusnya kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang bete. Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk, tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan bahasa-bahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.

”Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”

Aku menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke otak. Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit diramalkan endingnya.

”Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”

Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.

”Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”

Saking gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi sehelai jenggot itu. ”Nggak ada, kok,” jawabku.

”Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum…!”

Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh… kena deh! Awas ya!

***


“Assalamu’alaikum…” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.

“Waalaikum salam warah-matullah.. sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?” aku jadi kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!

Tommy sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan kalau dia harus mengajak seorang teman biar kami nggak ngobrol berdua. Tapi sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku juga belum bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.

”Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”

”Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku.

”Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”

Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab panjang lebar. ”Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”

”Tapi aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.

”Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”

”Eh, kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir kesini karena kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas yang aku nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di jalan. Kita kan nggak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya udah kalau nggak boleh.”

Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. ”Emang mau nanya apa sih?”

Tommy nyengir. ”Nah, gitu dong!”

Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.

”Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.” Tommy berusaha melucu.

Tapi bagiku yang sudah bete banget jadi tidak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!

”Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya! Bu bye..”

Gleg. ”Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”

”Eh, iya, afwan. Assalamu’alaikum…”

”Alaikum salam warahmatullah.”

***


Sepertinya belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah kenapa banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga sedang jalan kaki dan tanpa sungkan-sungkan langsung mengajak ngobrol. Waktu beli makan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di toko buku. Ke perpustakaan juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy juga sering sekali mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan hal-hal lain yang menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin beberapa hari cuti jadi orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi aku tidak perlu merasa begitu bosan seperti sekarang.

”Jangan-jangan kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba mengucapkan hal itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di kantin Yu Jum.

”Uhuk… uhuk… hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena tenggorokanku tercekat.

”Emangnya nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua. Kalau memang jodoh kan bisa segera…” Ika cengar-cengir melihatku.

”Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh itu rahasia Allah, dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah dipikirin pun toh kalau sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak bisa diundur dan nggak bisa dipercepat.”

”Iya, tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya menunda-nunda pernikahan.” Kali ini Ika mengedip-ngedipkan matanya centil. Membuatku serasa semakin ingin menghilang.

”Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”

”Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi… jangan-jangan dia sudah punya calon. Siapa tahu…! Inget lho, kalau sudah ketemu jodoh dan mampu, maka makruh hukumnya menunda pernikahan.” Ika kembali bersemangat sekali membuatku jengkel.

”Udah ah… kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.

***


Entah kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku. ”Iya, jangan-jangan, jangan-jangan… oh tidak! Paling hanya aku yang ke-geer-an.

New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.

Ups, dari Tommy!

Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok. Plizz, you are my only hope =)

Ih, apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini. Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap gombal-gambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada perkataan Ika siang tadi. Jangan-jangan…. Kadang sikapnya memang suka aneh sih, suka ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok kebetulan mampir dengan alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti juga ada yang jual jus, ngapain juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini. SMS yang model begitu juga bukan barang baru lagi. Ihh.

***


”Hati-hati lho, Van!”

”Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.

”Hati-hati lah… sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.

”Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho…”

”O ya?” kini mataku yang terbelalak.

”Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh… witing tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia gara-gara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.

”Apalagi kalian sudah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin menusukku.

”So what gitu lho…”

”Ya silakan ditafsirkan sendiri… aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin lihai lho…”

Aku manggut-manggut.

”Harus bisa tegas!” tambah Evi lagi.

”Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak usah dibales gitu?”

”Iyalah… kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak usah dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah dingin!”

”O… gitu ya?”

***


Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam tiga minggu terakhir. Senangnya….

”New sms!”

Kuraih handphoneku.

Tommy!

Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?

Pliss dong, Akh!

Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.

***



Diambil dari Majalah Annida, No. 2/XVI/15 Oktober – 15 Nopember 2006.

Simak cerita-cerita menarik lainnya di Majalah Annida “Cerdas, Gaul & Syar’i”.
 

Antara Kansas dan Bogor, Ada Cinta Bersemi

Penulis : Gola Gong



Grace menatapku dengan kesal dan marah. Wajah cantiknya menyiratkan ketidakrelaan. Gadis Menado yang setahun ini jadi pacarku, tiba tiba saja merasa seperti tersengat listrik, saat aku memberitahu akan mengisi summer holiday ke Bogor.

“Bogor? You are so crazy!” Grace terbelalak. “Mau apa kesana?! Kota macet seperti itu!”

“Memangnya, kamu pernah kesana?”

“Yah, lewat sajalah! Waktu itu aku ada pesta di Puncak! Lewat kota itulah! Macetnya minta ampun!”

“Tapi, aku mesti ke Bogor!”

“Aku heran saja! Bagaimana bisa? Kalau Bali, that’s okay! But, ini Bogor! Mimpi apa kamu semalam? Apa istimewanya Bogor?”

“Aku ingin melihat negeriku, Honey.”

“Damn! Ini tidak masuk akal. Pasti ada alasan lain!”

Aku diam saja. Memang ada alasan lain. Tapi tidak akan aku beritahu dia. Bisa perang dunia keempat.


Grace gelisah. Tubuh bagian atasnya yang hanya memakai t-shirt ukuran sedada saja, sehingga kulit putihnya terlihat mencolok mata, dikipas-kipas dengan kedua tangannya. Udara bulan Juni di University of Kansas, sangat panas. Berbeda dengan panasnya di kotaku, Surabaya, yang lembab dan mudah berkeringat. Di Kansas sangat panas dan kering. Daun-daun yang mulai menguning, dua bulan lagi tinggal menunggu autum session, akan gugur menimpa areal kampus. Jika sudah musim gugur, suasana kampus akan sangat semarak dan berwarna-warni, karena itu berarti akan dipenuhi dengan beragam pakaian musim dingin. Ini yang aku suka, karena tubuh cewek kampus rata-rata terbalut busana tebal yang unik dan antik. Aku paling tidak tahan, jika pada summer time seperti sekarang ini, kemana saja mata memandang, wuaduuuh…

“Bogor..,” Grace menggelengkan kepalanya.

“Malu ‘kan, sebagai warga Indonesia, aku belom pernah ke sana!”

Beberapa mahasiswa lalu-lalang di areal Lawrence campus. Yang lelaki bule bertelanjang dada dan memakai celana bermuda. Kaos atau kemejanya diikatkan di pinggang. Beberapa ada yang menenteng skate board. Sedangkan cewek kampusnya memakai tank top. Udara kering. Panas menyengat. Aku dan Grace rebah-rebahan di rumput, di bawah pohon.

“So, kamu tetap tidak mau memberitahu alasannya, kenapa liburan ke Bogor?”

Aku menggeleng.

“Okey, jika itu maumu!” Grace bangkit dan meninggalkanku. Dave, room mate, menertawakanku. Dia juga sama, menyebut aku gila. Dave sendiri sudah punya rencana mengisi summer holiday dengan berjemur di pantai Cancun, Mexico. Kata Dave, cewek Mexico seksi-seksi kalau sudah berbikini di pantai. Apalagi jika berpesta di pantai malam-malam dengan bir dan hasis! Beberapa teman Indonesiaku malah memilih bekerja sebagai pelayan di restoran.

Papaku yang bekerja sebagai diplomat di Chicago juga merasa heran. Bukannya summer holiday diisi dengan jadi bagpacker; keliling Amerika, ini malah berlibur ke Bogor. “Kamu ini ada-ada saja, Feb! Kok, malah ke Bogor! Apa menariknya kota itu!”

Aku tersenyum. “Papa pernah ke Bogor?”

Papa melirik ke Mama. “Pernah nggak, ya?”

“Lewat saja. Sewaktu kita menghadiri seminar di Puncak. Lewat highway…Macetnya minta ampun….”

Grace juga cuma lewat dan macet juga disebutnya. Dari mama lantas meluncur gerutuan-gerutuan, bahwa biang kerok negeri kami memang kemacetan. Itulah yang selalu membuatnya urung pulang; menengok kampung leluhur di Surabaya.

Aku anak tunggal. Papa dan Mama tidak tertarik untuk memberiku adik. Mereka lebih asyik meniti karir. Papa di atase ekonomi, sedangkan Mama aktivis perempuan di mana saja dia berada. Tulisan-tulisannya tentang feminisme ala Asia mewarnai koran-koran setempat. Latar belakang ketimurannya membuat tulisan-tulisannya menarik. Aku pernah membaca tulisannya tentang emansipasi. Mama menyebut tentang sebuah nama, RA Kartini. Aku tidak tahu siapa wanita Jawa yang dijadikan istri kedua itu. Mama menulis, bahwa emansipasi pada dasarnya adalah pemberontakan kaum perempuan pada hegemoni lelaki. Tapi di Indonesia, hal itu hanyalah lip service belaka. Sekedar tren atau bahkan semu. Ah, itu bukan urusanku.

Kadang aku suka menganggap aku ini anak durhaka. Di paspor tertulis warga negara Indonesia, tapi kalau ditanya tentang kebudayaan negeriku, tak aku kuasai. Aku lahir di New Zealand. Kata Papa dan Mama, saat umurku dua tahun, pernah dibawa mereka ke tanah leluhur di Surabaya. Setelah itu, Papa lebih banyak berpindah-pindah ke negara lain sebagai diplomat. Paling lama di India, sekitar lima tahun. Aku menghabiskan masa remaja di New Delhi. Pernah pacaran dua kali dengan gadis India. Setelah itu setahun di Spanyol, Maroko, dan kini di Chicago. Aku sudah setahun di Kansas. Kuliah mengambil jurusan ekonomi. Tak ada waktu untuk pulang ke negeri leluhur. Itu mungkin karena kengerianku saja saat melihat tayangan-tayangan televisi di CNN; bom di mana-mana. Aku sudah jadi warga dunia, yang tak mengenal tanah leluhurnya; Indonesia. Papa dan Mama pernah berjanji, bahwa tahun depan akan berlibur ke Indonesia. Tapi mereka tidak tertarik menghabiskan hari tua di Indonesia. Mereka memilih suatu tempat di Italia.


***



Pesawat American Airways mengepakkan sayapnya, menembus angkasa. Pesawat nanti akan transit dulu di Dallas, lalu San Fransisco. Dari sini pindah pesawat ke Singapore Airlines. Pesawat transit lagi di Taipei, Singapura, dan tujuan terakhir Jakarta, ibu kota negeri leluhurku, yang belom pernah aku injak. Dua puluh dua jam mengambang di udara! Menyebalkan!

Dari kaca jendela, aku melihat Kansas City yang datar; ladang-ladang gandum menyebar di mana-mana. Warnanya kuning keemasan. Aku juga masih bisa melihat air mata Grace menitik di depan pintu masuk MCI – Kansas City International Airport. Aku tadi menghapus air matanya.

“Aku Cuma ke Bogor,” senyumku. “just a week!”

“Aku tahu, seseorang sedang menunggumu disana. A girl!”

“Please, jangan bersikap bodoh! Dewasalah!”

Grace tidak mengangguk. “We’ll see!” dia membalik, “Good bye!”

Aku tidak menjawab. Aku tatap dia sampai menyeberangi jalan dan menuju tempat parkir. Sampai dia masuk ke dalam mobil dan pergi. Mungkinkah ini akhir dari hubungan kami? Grace yang cantik dan manja. Dia tidak beda denganku, jadi warga dunia. Tapi, dia sering pulang berlibur ke Indonesia. Tempat yang paling dia gemari selain kampung halamannya; Menado, adalah Bali. Ke Jakarta? Grace mengacungkan dua jarinya. “ Tidak tahan macetnya!” begitu alasannya.

Burung besi terus menembus gumpalan awan-awan, menyusuri garis langit beribu-ribu mil jauhnya. Ini adalah perjalanan panjang udaraku. Indonesia, oh, Indonesia. Aku datang padamu. Kalau saja bukan karena Nicky, gadis SMA, yang sudah jadi sahabatku selama tiga bulan di internet, aku mungkin tidak akan datang ke Bogor, kota yang katanya sebagai kota satelit Jakarta.

Aku masih ingat, email terakhir yang Nicky kirim : Bogor adalah kota di mana kami bisa berbahagia. Kota hujan. Kota yang penuh dengan pohon tua dan ratusan rusa di istana. Datanglah jika kau mau. Aku akan membuat kamu mencintai negeri leluhurmu.

Ya, itulah rahasia besarku, kenapa aku sangat ingin pergi ke Bogor. Nicky, gadis itu. Papa, Mama, apalagi Grace, tidak aku beritahu soal ini. Konyol. Bahkan Dave, bule dari LA, yang mendambakan gadis Perancis dan ingin bungee jumping di menara Eiffel.

Nicky, entah kenapa aku tertarik ingin menemui gadis itu. Indonesian girl. Aku tersenyum sendiri. Sepanjang hidupku, aku baru berpacaran dengan gadis Indonesia, ya, Grace itulah. Tapi, Grace bukan gadis Indonesia asli. Dia sudah multikultur dan jauh lebih Amerika ketimbang gadis Amerika sendiri. Dan aku merasa bosan berpacaran dengan Grace. Tak ada sesuatu yang bisa mengisi relung hatinya. Hampa. Semu. Seperti jika dia sedang menenggak bir, lalu mabuk sesaat, setelah dibawa tidur, saat bangun, semua selesai. Tak tersisa.

Aku rogoh kantung luar tas punggungku. Ada beberapa lembar email dari Nicky, yang sengaja aku print. Aku baca lagi. Ada satu surat yang membuatku terusik atau merasa terganggu: Kau beruntung bisa mendapatkan apa yang kau mau. Semua fasilitas tersedia. Tapi, sadarkah kau, bahwa uang yang kau dan keluargamu pakai, juga semua keluarga yang bekerja di KBRI-KBRI seluruh dunia, adalah tak sepadan dengan kontribusinya terhadap negeri ini. Kau tahu, betapa beratnya hidup di negeri leluhurmu, yang tak punya status dan kehormatan atau kesempatan seperti yang kau dapatkan. Kau dan keluarga dengan enak menikmati semua fasilitas dari negeri leluhurmu, yang sedang sekarat dan carut-marut. Jika kau lulus kuliah nanti, apakah terpikir akan pulang dan membangun negeri leluhurmu? Aku yakin tidak.

Ada yang mengganjal hatiku. Ada yang membuatku penasaran tentang Nicky, yang wajahnya saja aku tak pernah tahu. Aku coba surfing tentang negeriku, terutama tentang Bogor. Yang aku dapati seperti ini : Kota Bogor secara geografis terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Luas wilayah 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan, 68 kelurahan.

Itu saja. Aku pernah coba searching nama “Nicky”. Hanya ada satu nama Nicky yang populer, penyanyi rock “Nicky Astria”. Tak ada lagi. Berarti “Nicky”-ku adalah orang kebanyakan. Rakyat biasa. Apa dia perempuan? Aku pikir, iya. Aku bisa merasakannya dari kata-kata yang digunakannya. Pilihan katanya menggelorakan perasaan seorang perempuan.



***

“Ini istana Bogor,“ kata supir taksi. Dia meminggirkan taksinya di dekat trotoar. Sudah ada beberapa mobil berhenti. Aku belum mau turun dari taksi. Gila! Betul kata Grace dan Mama, bahwa kemacetan di kota Jakarta bukan lagi penyakit biasa, tapi sudah seperti kanker. Dari Soekarno-Hatta International Airport ke Bogor memakai waktu hampir tiga jam. Padahal jaraknya tidak lebih dari 70 kilometer. Lewat highway – supir taksi bilang tol Jagorawi – pula! Bagaimana ini?! Aku lihat, volume kendaraan tidak seimbang dengan beban jalan. Aku membaca di rambu-rambu, ada istilah “tree in one”, yang kata supir taksi itu untuk mobil-mobil pribadi. Dari supir taksi yang ramah, aku diberi tahu, bahwa orang-orang Jakarta lebih suka keluar dari rumah memakai mobil pribadi. Jika diandaikan sebuah keluarga mempunyai sepuluh mobil, berarti dari mulai ayah, ibu, anak bahkan sampai pembantu akan keluar memakai mobil masing-masing satu. Si ayah ke kantor, si ibu pergi arisan, si anak ke kampus atau ke sekolah, serta si pembantu pergi belanja untuk keperluan dapur. Untuk menghambat volume kendaraan, akhirnya diterapkanlah “tree in one”, agar mobil-mobil itu berfungsi baik, mengangkut penumpang dalam jumlah yang sesuai dengan bangku yang ada. Tapi, aku diperkenalkan lagi dengan “joki”; orang-orang yang berprofesi sebagai penumpang “tree in one”; untuk mensiasati peraturan itu. Wah, kreatif juga anak-anak negeri leluhurku itu.

“Bagaimana? Mau turun?”

“Sebentar, Pak,” kataku. Mataku melihat ke sekitar. Beberapa kendaraan berwarna hijau – kata supir taksi, itu angkutan umum! – berhenti sembarangan saja. Tidak peduli larangan stop atau malah lebih gila lagi, di tengah jalan! Supir-supir itu pasti tidak berpendidikan! Berhenti menurunkan penumpang di tengah jalan! Tidak di halte! Tubuhku lelah. Di angkasa dua puluh dua jam! Jet lag! Stress! Ingin marah, tak bisa apa-apa. Aku ingin tidur, tapi kepalaku pusing. Huh! Dimana kau, Nicky!

Aku melihat ke sisi kiriku. Pagar tinggi mengelilingi. Nun jauh ditengah-tengah, di antara batang-batang pohon besar, ada sebuah istana. Kata Nicky, itu adalah istana Bogor; tempat presiden pertama negeri leluhurku Ir. Soekarno, beristirahat. Kata Nicky lagi diemailnya, presiden kedua, Soeharto, tidak pernah beristirahat di istana ini. Ada lagi yang membuatku takjub, ratusan binatang bernama rusa dengan tenangnya berkeliaran. Bahkan beberapa ekor rusa menyembul di sela-sela pagar. Aku lihat beberapa keluarga turun dari mobil. Anak-anak mereka mendekati pagar dan memberi rusa-rusa itu makan. Aku jadi ingat email Nicky tentang rusa-rusa ini. Presiden keempat, Gus Dur, sering berpesta rusa di sini.

Aku rogoh saku. Aku beri tip. Supir taksi tampak gembira sekali. Tidak ada lima puluh dollar ongkosnya! Tidak ada masalah. Lalu aku buka pintu. Supir taksi membukakan bagasi. Ransel North Face digeletakkan di trotoar. Aku seret dan merapat ke dinding pagar. Beberapa orang sebayaku melintas. Ransel di punggungnya bermerek sama dengan ranselku. Wah, hebat juga! Aku betul-betul lelah.

Aku coba melihat ke balik pagar. Ratusan rusa bertebaran mengunyah rumput. Di seberang pagar ada sungai pembatas. Bening airnya. Beberapa ekor rusa turun untuk minum. Beberapa lagi menyeberangi sungai dan naik mendekati pagar. Anak-anak dengan tawanya yang riang memberi mereka makan sayuran.

Nicky, dimana? Di email terakhirnya, dia menyuruhku untuk menunggu di depan istana Bogor. Di trotoar. Sambil melihat anak-anak sedang memberi makan pada rusa. Dia akan datang memakai mobil berwarna hijau. Aku lihat tadi, begitu banyak mobil berwarna hijau. Kata supir taksi tadi, itu kendaraan umum. Semua yang ditulis Nicky sama persis dengan yang aku lihat sekarang. Aku lihat jam; pukul dua belas siang! Panas! Tapi tubuhku berkeringat; terasa segar. Sudah dua botol air mineral aku minum habis.

Aku mencoba memetik ranting daun dari pohon trembesi, yang menjuntai. Aku sodorkan lenganku melewati celah pagar. Mulut rusa mengunyahnya. Asyik juga. Di Kansas hal ini tidak pernah aku lakukan. Aku lihat di sebelah kananku seorang gadis dengan wajah ditutup kain – kata Mama itu adalah jilbab, pakaian khas orang yang beragama Islam- sedang membagi-bagikan sayuran pada anak-anak. Gadis itu seumuran Grace, membawa sekantung plastik sayur-sayuran. Walaupun aku hanya bisa melihat sebagian wajahnya, aku merasa pasti bahwa dia cantik sekali. Di belakangnya ada seorang junior high school, juga membagi-bagikan sayuran untuk makanan rusa. Aku yakin, anak kecil itu adik dari gadis berjilbab.

“Mau sayurannya?” tiba-tiba saja gadis berjilbab itu sudah berdiri di depanku.

“For Free?” aku kaget.

Si gadis tersenyum, “Yap! For Free! Gratis alias teu kudu mayar!”

Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimat terakhir yang agak aneh di telingaku; gratis dan teu kudu mayar! Gratis, aku tahu. Tapi, “teu kudu mayar?”

“Sama saja artinya, for free!” dia tertawa.

Aku tersenyum, “Thanks!” Aku ambil beberapa ranting.

“Kapan datang?”

Tangan aku tarik lagi. Tapi mulut rusa sudah memakan sayurannya. Aku lepaskan sayuran itu. Aku tatap si gadis berjilbab. “You must be Nicky!” aku merasa surprise.

Dia tertawa.

Aku menyodorkan tangan; bermaksud berjabatan tangan. Tapi, Nicky menyatukan kedua telapak tangannya di dada dan tersenyum. “Selamat datang di kota Bogor,” katanya.

Aku gugup. Dia tidak menjabat tanganku. Apakah aku membawa penyakit menular? Tapi, dari senyumnya, aku yakin Nicky tidak bermaksud menghinaku.

“Pasti capek, ya?” tanyanya.

“Iya. Very tired!”

“Kenalkan, ini adikku,” Nicky mengenalkan anak kecil, yang masih membagi-bagikan sayuran ke anak-anak.

Aku tersenyum pada adiknya. Aku betul-betul kikuk.

“Ayo, kamu check in dulu!”

Aku mengangguk.

“Jalan kaki saja, ya.”

Walaupun aku capai, aku menurut saja. Aku sandang ransel di punggungku. Aku berjalan di sisinya. Tapi Nicky menjaga jarak, tidak mau terlalu dekat. Adik lelakinya berjalan dibelakangku; kesannya mengawal kami. Tapi Nicky asyik-asyik saja.

“Wajahmu nggak bule-bule amat!”

“Papa dan Mama asli Indonesia!”

“Iya juga, ya!”

“Adikmu…, ikut kita?”

“Yap!”

Aku menyeret kakiku, berjarak sekitar dua meter di sebelah Nicky. Kalau berjalan bersama Grace di Kansas, lain sekali. Kami biasa berpelukan. Bahkan berciuman bukanlah sesuatu yang tabu. Tapi, dengan Nicky, yang berjilbab. Aku merasa tidak pantas berjalan di sisinya. Aku jadi serba salah.

“Malu ya, jalan dengan aku?”

“Oh, no, no!” Aku kaget. Aku tidak ingin jauh-jauh datang ke Bogor, mengambang dua puluh dua jam di udara, hanya meributkan soal keyakinan seseorang. Aku sendiri bingung, memeluk agama apa. Papa dan Mamaku tidak pernah menyuruhku untuk memeluk agama apa pun. Aku perhatikan saat lebaran, Papa dan Mama ikut halal bihalal di Konjen. Begitu juga natal dan tahun baru. Agama kami berarti apa saja. Di kampus, hampir kebanyakan agamanya, ilmu pengetahuan.

“Ayo!” Nicky memasuki sebuah rumah tua. “Murah-meriah!”

Aku baca nama hotelnya : Wisma Pakuan – Home stay. Nyaman juga. Tidak berisik. Aku justru menyukai penginapan seperti ini. Terasa seperti sedang di rumah. Sepanjang hidupku, aku selalu berpindah-pindah dari satu apartemen ke apartemen lain. Di Kansas, aku tinggal di asrama, bersama Dave, yang kalau tidur mendengkur! Tak ada aturan apa-apa!



***



Aku berjalan-jalan di Kebun Raya, Bogor. Ini adalah paru-paru kota. Aku suka sekali. Di tengah kebisingan kota dengan keberadaannya yang kacau-balau, ada hutan dengan pohon-pohonnya yang sudah tua. Nicky berjalan disebelahku, agak menjauh seperti biasa. Dan adik lelakinya, berjalan di belakang; mengawal kami.

“Kamu janji siang ini akan mengajakku kerumahmu.”

“Oke!”

“Sudah jam satu!”

“Tapi, aku masih betah di sini! Kebun Raya ini bagiku seperti surga. Aku lupa dengan segala masalah yang ada di kotaku ini.”

“Tapi, kemarin kamu janjinya hari ini.”

“Kenapa kamu begitu ingin kerumahku?”

“Lantas, untuk apa pula aku terbang selama dua puluh dua jam dari Kansas ke sini?”

“Mengisi summer holiday-mu!”

“Aku bosan! Selama dua hari ini hanya melihat rusa Bogormu dan kebun Raya ini! Ditemani adikmu pula!”

“Aku tidak menyuruh kamu ke sini, lho,” Nicky tersenyum. “Kamu yang menginginkan liburan musim panasmu di sini. Aku hanya jadi guide saja.”

Aku duduk di bangku. Meminum air mineral. Angin sepoi menyejukkan hati. Mungkin aku sudah sinting. Jauh-jauh datang ke Bogor dari Kansas, hanya untuk melihat rusa Bogor dan kebun Raya. Tapi, Nicky semakin jadi magnet buatku. Semakin aku ingin pulang ke Kansas, semakin aku tak ingin meninggalkan Bogor. Ada yang kukagumi dari diri Nicky, yaitu keteguhan hatinya. Dia membuatku kagum dan harus menghormati atas segala sikapnya. Dia sama sekali tidak mau aku sentuh, walaupun hanya bersalaman atau untuk aku seberangkan, jika lalu-lintas sedang padat. Zebra cross di sini tidak jadi jaminan orang akan nyaman dan aman menyeberang. Tapi, Nicky lebih memilih meminta tolong adiknya.

Sore hari, dengan naik mobil berwarna hijau, yang ternyata lelucon Nicky, bahwa mobil itu memang angkutan umum, kami sampai di rumah Nicky. Rumahnya ada di bawah, di celah lekukan antara dua bukit. Kota Bogor ini berada di kaki gunung Salak. Rumahnya berhimpitan dengan rumah-rumah yang lain, tapi tidak terasa sesak. Banyak tanaman hias bergantungan dari tiang-tiang rumah. Kecil dan mungil. Halamannya tidak luas, hanya sekitar dua meteran.

“Mana orang tuamu?” tanyaku, karena rumahnya kosong. Hanya ada adiknya saja.

“Ayah dan ibuku sudah tidak ada. Kami hanya hidup berdua,” suaranya riang saja.

Aku terpana, “Kalian hidup berdua?”

“Iya.”

Adiknya muncul membawa dua gelas minuman teh manis panas.

“Bagaimana kalian membiayai hidup?”

“Kami dapat beasiswa. Aku juga nyambi jadi guide. Setiap aku berhasil membawa tamu menginap, aku mendapat komisi.”

Aku tercengang. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Pertemuanku dengan Nicky membuatku seperti berada di dunia lain, yang tidak pernah aku rasakan. Ada nilai-nilai yang selama ini aku abaikan. Nilai kemanusiaan yang utuh, yang tak pernah aku rasakan di Kansas, bersama teman-teman di kampusku. Bersama dengan Grace, pacarku. Bahkan bersama Papa dan Mama. Uang begitu mudah aku peroleh dan aku hambur-hamburkan sesuka hati.

Saat pesawat lepas landas dari Soekarno-Hatta International Airport, perasaanku tak bisa aku gambarkan. Sulit untuk aku ceritakan pada kawan-kawanku di Kansas tentang segala yang aku lakukan bersama Nicky. Juga pada Papa dan Mama. Begitu berat meninggalkan Bogor. Begitu berat meninggalkan Nicky. Aku tidak tahu, apakah ini cinta? Ah, terlalu pagi. Yang hanya bisa aku ingat dari Nicky adalah keriangan dan kesederhanaan serta harga dirinya yang tinggi. Begitulah seharusnya seorang wanita, dia harus seperti pualam. Mahal dan tidak bisa sembarangan disentuh.



Diambil dari buku antologi cerpen berjudul “Addicted 2 U” yang diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena.

Dapatkan bukunya dan ikuti cerpen-cerpen pilihan karya Asma Nadia, Gola Gong, Hilman dan lain-lain.